Ketekunan dan kejujuran Mira dalam meniti karir di perusahaannya, ternyata berbuah petaka yang hampir saja mencabut nyawanya ….
Oleh: Nizma Ayunda
Neomisteri – Keluarga muda yang tinggal di sebelah rumah, Elang, Mira dan putranya yang baru berumur setahun, Hira, entah kenapa begitu dekat dengan kami. Mereka bahkan menganggap keluargaku, Dian, Tati dan kedua anakku yang kembar Shinta dan Shanti sebagai kakaknya. Sehingga mereka memanggil aku dan Tati dengan sapaan; Uwak dan Teteh pada Shinta dan Shanty.
Kedekatan kkeluarga itu demikian tulus. Boleh dikata, tiap liburan, setelah menghabiskan waktu di taman, Elang, Mira ,dan Hira langsung berkumpul di rumah untuk sekadar minum teh, kopi, serta menikmati goreng pisang. Setalah puas, merekapun kembali dan kami pun tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
Sehingga tak heran, pelbagai peristiwa yang terjadi di antara mereka, keluarga kami pasti tahu dengan tepat. Maklum, mereka tak segan menceritakannya di depan Shinta dan Shanty yang menurut mereka sudah dewasa karena keduanya duduk di semester akhir di salah satu PTS yang ada di tengah-tengah keramaian Jakarta.
Hingga pada suatu hari, Elang, Mira, dan Hira sengaja datang ke rumah sambil membawa nasi kuning lengkap dengan lauknya. “Uwak dan Teteh harus ikut merasakan kegembiraan kami,” demikian kata Mira sambil menyerahkan boks kepada aku, Tati, Shinta dan Shanty. Sementara, keduanya juga membuka boks miliknya.
Kami makan sambil bercerita. Ternyata, Mira baru saja diangkat menjadi Manajer Marketing di perusahaannya. Wajar, selain masih muda, Mira yang menyelesaikan studinya di Amerika memang memiliki inovasi yang dirasa mampu membawa perusahaan ke arah yang lebih baik.
Sontak, kami pun memberikan ucapan selamat kepada Mira, Elang suaminya, serta menciumi Hira dengan gemas ….
***
Menginjak bulan ketiga, tak seperti biasanya, mendadak, Mira langsung berteriak histeris ketika sedang menutup pintu rumahnya. “Ulaaar … Ulaaar … Ulaaar!”
Kami yang mendengar langsung berlarian ke rumah Elang. Sambil membawa sebatang bambu. Dengan penuh kehati-hatian, aku berjalan sambil membuka pintu pagar. Sementara, Elang mendekap tubuh Mira dan Hira yang ketakutan ….
Tapi apa daya, walau telah mencari kesana-kemari, namun tak ada seekor ular pun di halaman rumah Elang. Bahkan aku dan beberapa tetangga tak lupa menyibak rimbunnya dedaunan dari tanaman yang tumbuh subur di sana. Hasilnya tetap saja sama, nihil ….
Akhirnya, setelah menenangkan Mira dan Elang, kami pun kembali ke rumah masing-masing dengan penuh tanda tanya.
***
Seminggu setelah kejadian itu, menjelang Magrib, dengan tegopoh-gopoh Elang yang baru kembali dri kantor langung ke rumah; “Wak … Mira dirawat.”
“Kenapa? Sakit apa?” tanyaku penuh kekhawatiran.
“Enggak jelas Wak. Tadi di kantor teriak-teriak ada ular di laci mejanya,” jawab Elang.
“Baik … Ayo kita ke sana,” kataku sambil menggamit bahu Elang setelah sebelumnya memberitahu pada istri, Shinta dan Shanti sambil berpesan; “Bantu jaga Hira yah. Lebih baik ia dan Bi Siti menginap saja di sini.”
Di rumah sakit, Mira tampak sedang tertidur karena diberi obat penenang. “Ibu Mira begitu syok sehingga kami memberi obat penenang. Semoga besok bisa lebih baik. Karena tidak ada penyakit lain yang diketemukan,” demikian keterangan dokter Surya yang tengah bertugas di IGD.
Hampir sebulan Mira diistirahatkan, karena tiap beberapa hari ia pasti berteriak-teriak ketakutan. Sudah barang tentu, kejadian itu sangat mengguncang perasaan Elang ….
Hingga pada suatu pagi, Yana, teman SMA-ku datang ke rumah. Karena hampir tiga tahun tak pernah bertemu apa lagi berkabar. Pertemuan itu pun jadi terasa begitu hangat.
Ketika sedang menyesap kopi dan menghisap rokoknya dalam-dalam, mendadak, Yana langsung berdiri dan memperhatikan rumah Elang sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menoleh ke arahku sambil bertanya; “Rumah siapa?”
“Adik angkatku,” jawabku singkat sambil menceritakan penyakit yang tengah diderita Mira.
Sementara Yana hanya diam seribu basa sambil matanya menatap nyalang ke arah sudut taman, tepatnya ke sebatang pohon pinang yang tumbuh di perumahan kami.
Begitu aku berhenti bercerita, Yana berjalan ke arah pohon pinang. Ia tampak menunduk seolah mencari sesuatu di sana. “Alhamdulillah …,” gumamnya sambil menggenggam empat butir buah pinang masak dan kembali ke rumahku.
Wajahku sontak sumringah. Maklum, sejak di bangku SMA, aku mengenal Yana sebagai sahabat yang memang gemar menggeluti ilmu-ilmu Karuhun. “Bagaimana?” Tanyaku cepat.
Yana langsung menjawab; “Biasa … Kiriman jarak jauh karena gagal jadi manajer.”
“Hah …,” sahutku sambil menceritakan bahwa Mira memang beru saja diangkat menjadi manajer marketing di kantornya.
Yana tak menanggapi. Ia tampak tengah membaca mantra kemudian meniupkan pada keempat buah pinang yang dipegangnya.
“Baik … Sekarang kita tanam buah ini pada keempat sudut rumah Elang,” katanya sambil mengajakku.
Beruntung sejak Mira sakit, Elang membuat duplikat kunci rumahnya dan memberikan satu kepadaku. Bersamaan dengan suara azan Zuhur, Yana yang sebelumnya sudah menggali keempat sudut rumah Elang, langsung memasukkan masing-masing lubang satu buah dan menimbunnya.
“Oke … beres,” katanya sambil mengajakku langsung ke masjid untuk mendirikan salat Zuhur.
Sekembalinya di rumah Yana langsung saja berkata; “Sebetulnya, empat buah pinang harus diambil pada Jumat bersamaan dengan azan dikumandangkan. Tetapi karena sekarang Rabu, maka aku menanamnya bersamaan dengan azan Zuhur. Cara mengamalkan penolak teluh, hanya puasa tujuh hari mulai Jumat.”
“Dan ini amalan yang harus dibaca setiap tengah malam sebanyak tujuh kali,” katanya sambil mohon diri dan memberikan secarik kertas yang bertuliskan;
Anu runtuh sira nu gempur,
Nu ngadek sira nu paeh,
Nu nyimbeh sira nu baseuh,
Nu nyundut sira nu tutung
Nya aing ceda wisesa ti buana panca tengah,
Tiis ti peuting ngeunah ti beurang,
Ngenah ti Allah Ta’ala,
Ya Allah hurip waras.
“Terima kasih,” kataku sambil memeluk tubuh Yana.
Ketika Elang dan Mira pulang, aku sengaja memanggil keduanya dan menceritakan apa yang tadi dilakukan oleh Yana di rumahnya. “Terima kasih Wak Dian, Wak Tati, kita berdua dan Hira tidak bisa membalas apa-apa. Bahkan kami tidak sadar, jika penyakit Mira adalah kiriman orang jahat.”
Selepas itu, tak ada lagi jerit ketakutan Mira ketika menutup pintu rumahnya atau sedang membuka laci mejanya di kantor. Bahkan perlahan namun pasti, tubuh Mira pun mulai kembali seperti semula. Sintal dan menawan.