Walau hanya tinggal tulang berbalut kulit dan lebih dari setahun tergolek lemah di pembaringannya, namun, wajahnya masih saja menguarkan aura kecantikan yang sangat menggoda ….
Oleh: Bramantyo
Neomisteri – Winda (23 tahun), anak kesayangan Tante Marni tampak kebingungan. Betapa tidak, sudah beberapa malam ini ibunya yang sudah lebih dari setahun tampak gelisah tak seperti biasanya.
“Ampuuun, aku ingin segera mati,” demikian keluhnya terus menerus.
Suster yang selama ini menjaganya tampak kelelahan karena nyaris tak pernah tidur walau sekejap pun. Dokter Iwan, yang boleh dikata dokter keluarga itu juga sudah angkat tangan.
Di tengah-tengah kegalauan yang tengah melanda, mendadak, Om Bandi, salah seorang pengusaha yang merupakan sahabat Tante Marni datang berkunjung.
Winda pun langsung menyambutnya dengan hangat; “Om … sudah hampir tiga tahun tidak pernah datang. Mama sakit parah,” demikian katanya sambil memeluk lelaki tegap yang ada di depannya.
Om Bandi membelai-belai rambut Winda dengan penuh kasih. “Maaf … Om banyak di luar kota,” katanya lagi.
“Ayo lihat mama di kamarnya,” kata Winda sambil menarik tangan Om Bandi.
“Ah … kenapa jadi begini,” kata Om Bandi terkejut ketika melihat tubuh Tante Marni.
Om Bandi menggamit tubuh Winda dan mengajaknya keluar menuju ruang keluarga. Di sana, Winda pun dihujani pertanyaan sekitar sakit mamanya. Sementara, Om Bandi hanya terdiam sambil sesekali menghela napas dan berjalan mondar-mandir seolah tengah mengingat sesuatu yang sudah lama sekali terjadi.
Akhirnya, Om Bandi pun duduk dan minta secangkir kopi. Setelah menyesap dan menyalakan rokoknya, Om Bandi pun berkata; “Rasanya, aku yang harus menjalani segala pesan Mbah Paimo. Karena hanya aku yang mendengar pesan itu”.
“Maksud Om?” Potong Winda cepat.
Delapan belas tahun silam, Tante Marni hanyalah pelacur kelas bawah yang tiap malam beroperasi di pinggir jalanan ibu kota. Kecantikan dan kesintalan tubuhnya membuat ia mempunyai banyak langganan, dan salah satunya Om Bandi yang kala itu hanya salesman pelbagai jenis buku.
Hubungan keduanya pernah sangat dekat, hingga Om Bandi pernah melamar dan meminta Tante Marni untuk kembali ke jalan yang benar.
Tapi apa daya, Tante Marni bersikukuh untuk tetap bertahan agar keluarganya di kampung dapat melihat dan merasakan keberhasilannya berjuang di Jakarta.
Waktu terus berlalu, walau sesekali keduanya saling melepas rindu dengan berhubungan badan, namun, Om Bandi sudah menikah dan dikaruniai seorang anak lelaki yang sehat dan montok.
Agaknya Tante Marni tak ingin kalah, ia juga mengambil bayi perempuan temannya karena sang ibu tak punya uang sedang ayahnya tidak jelas.
Entah bibit dari lelaki mana yang bertahan di rahim ibu yang malang itu. “Dan bayi perempuan itu adalah kamu,” bisik Om Bandi.
Winda sangat terkejut. Ia hampir saja jatuh tak sadarkan diri jika tidak segera diraih oleh Om Bandi.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, pelanggan Tante Marni pun mulai berpaling kepada yang lebih muda. Akibatnya, alih-alih untuk makan, untuk beli susu pun Tante Marni benar-benar harus menjual apa yang ada.
Di tengah-tengah kesulitan itu, Om Bandi kembali tampil sebagai dewa penyelamat. Ia mengajak Tante Marni ke suatu tempat, tepatnya di kaki Gunung Selamet, untuk menemui Mbah Paimo — lelaki paruh baya, pendiam dan hanya dikenal warga setempat sebagai petani.
Setibanya di sana, tanpa banyak cakap, Mbah Paimo pun langsung memasang dupa dan menggelar ubo rampe di hadapannya. Setelah itu, di tengah kegelapan malam, Mbah Paimo mengajak Marni untuk mandi di pancuran yang terletak di pinggir sungai tak jauh dari rumahnya.
“Mandi di sana,” kata Mbah Paimo. “Niatkan dalam hati, di mana susuk kencana itu akan bersemayam,” lanjutnya lagi.
Marni pun menjalankan apa yang diminta dan setelah itu ia naik ketepian dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Usai itu, kami pun kembali ke rumah Mbah Kromo untuk menikmati kopi panas dan sepiring pisang goreng.
Esoknya, sebelum kembali ke Jakarta, Mbah Paimo berpesan, “Besok, jika ajal akan menjemput, Marni harus tidur di hamparan daun talas hitam dan daun kelor. Ingat itu”.
“Baik Mbah,” jawab Bandi dan Marni hampi bersamaan sambil saling pandang.
Dan benar, beberapa hari kemudian, Marni mulai kewalahan melayani pelanggannya. Bahkan, ia nekat menjadi istri simpanan dari salah seorang pengusaha ….
Sejak itu, hidup dan kehidupan Marni jadi berubah. Ia tak lagi berkeliaran di pinggir jalan untuk mencari pelanggan, ia hidup tenteram di salah satu perumahan mewah dengan ditemani oleh Winda anak semata wayangnya yang cantik dan pintar.
Sedang Om Bandi lebih banyak di luar kota karena ia diangkat menjadi manajer area untuk daerah Sulawesi.
“Hanya itu yang Om tahu. Tapi, agar mama tidak merasakan sakit yang berkepanjangan, tidak salah jika kita menjalankan apa yang dipesan Mbah Paimo,” kata Om Bandi seolah meminta pendapat Winda.
Sesaat Winda terdiam, akhirnya, dengan terputus-putus ia pun setuju dengan usulan itu; “Bukan maksud Winda ingin menguasai harta Mama, tapi, Winda tidak kuat melihat penderitaan Mama yang berkepanjangan”.
Singkat kata, untuk sementara, tubuh Tante Marni pun dipindahkan. Setelah beberapa lembar daun talas hitam dan beberapa ikat daun kelor pun disusun di atas kasur kemudian ditutup dengan seprai, tubuh Tante Marni pun dikembalikan lagi.
Bak menemukan segelas air dipadang sahara, begitu diletakkan, Tante Marni pun tertidur dengan nyenyaknya.
Agaknya, Om Bandi sengaja menunggu untuk melihat apa yang terjadi.
Tepat adzan Magrib berkumandang, dari wajah, bibir dan kemaluan Tante Marni tampak keluar asap hitam kekuningan yang berputar-putar dan melesat keluar lewat lubang angin.
Setelah menghela napas, Tante Marni pun meninggal dunia ….
Jerit tangis Winda pun langsung saja berdatangan. Dengan tulus, mereka mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya.
Maklum, selama ini, selain dekat dengan anak-anak kecil, Tante Marni juga dikenal sebagai sosok yang suka menolong tetangga yang sedang membutuhkan.
Oleh sebab itu, kebanyakan tetangga berkata; “Sekarang, Oma Marni tidak sakit lagi. Kita doakan, agar Oma mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya”.
Winda dan Om Bandi hanya dapat menarik napas dan berdoa agar kekelaman masa lalu mendiang dihapuskan oleh Allah. Semoga.