Sabda Sang Wali Allah, Sunan Bonang, langsung maujud … sang utusan yang mulanya menunggu sambil menyenandungkan tembang yang lamat-lamat terdengar sampai ke dalam masjid terasa sangat mengganggu ….
oleh: Putradewa
Neomisteri – Warta berkisah, pada suatu masa, ketika Sunan Bonang sedang mengajar para santrinya di dalam masjid, datang utusan dari Kerajaan Majapahit. Menurut tutur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, utusan tersebut bernama Kyai Becak (Bicak) yang membawa pesan dari Prabu Brawijaya, bahwa dirinya belum mengiyakan ajakan sang Sunan untuk memeluk agama Islam.
Baca Juga: Kutukan Kastil Matsumoto
Karena masih mengajar, maka, Sunan Bonang meminta Kyai Becak (Bicak) untuk sejenak menunggu di halaman masjid. Untuk menghilangkan rasa jenuh karena menunggu, seperti kebiasaannya, Kyai Becak (Bicak) pun menyenandungkan tembang yang suaranya lamat-lamat sampai ke dalam masjid.
Sudah barang tentu, suara tersebut, terasa sangat mengganggu.
Karena merasa risih, maka, Sunan Bonang pun bertanya kepada para santrinya; “Siapa yang menyenandungkan tembang?”
“Kyai Becak (Bicak) Kanjeng Sunan”, jawab para santrinya hampir bersamaan.
“Kyai Becak (Bicak)? Kok suaranya seperti bende”, kata Sunan Bonang lagi.
Begitu usai, beberapa santri meminta izin kepada Sunan Bonang untuk memberitahu Kyai Becak (Bicak) bahwa ia sudah bisa menghadap. Kegemparan pun sontak terjadi. Betapa tidak, Kyai Becak (Bicak) tidak ada di tempatnya semula. Walau telah dicari kemana-mana, namun, Kyai Becak (Bicak) tetap tidak bisa diketemukan … kecuali sebuah bende (gong kecil-red) yang tergeletak di tempat sang utusan Kerajaan Majapahit tadi menunggu.
Salah seorang santri langsung menghadap Sunan Bonang dan menceritakan apa yang dilihatnya. Sunan Bonang pun terkejut sekaligus kecewa. Ia tak pernah menyangka bahwa ucapannya menjadi kenyataan — saat itu juga, bende tersebut diambil dan diberi nama Kyai Becak (Bicak).
Bende Kyai Becak (Bicak) akhirnya dirawat oleh Sunan Bonang sampai akhir hayatnya, bahkan, sang Sunan berwasiat kepada para santrinya untuk terus merawat bende tersebut. Pesan tersebut sampai sekarang masih dijalankan, kenyataan tersebut tampak dengan jelas tiap 10 Dzulhijjah atau bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, masyarakat Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, selalu menggelar tradisi turun temurun yang dikenal dengan sebutan “Penjamasan Bende Becak (Bicak)” yakni; ritual; pencucian sekaligus pengganti kain penutup bende yang merupakan peninggalan Sunan Bonang.
Ubo rampe yang disiapkan dalam upacara tersebut antara lain air bunga jamasan di lima tempat, ketan kuning dengan parutan kelapa bercampur gua jawa yang diletakan di atas potongan bambu yang dibentuk sedemikian rupa. Setelah berdoa, maka, beberapa tokoh agama dan masyarakat yang ditunjuk menjamas Bende Becak (Bicak) serta batu penabuhnya, selanjutnya, wadah ketan kuning beserta dengan air bekas penjamasan dibagikan kepada masyarakat yang banyak berdatangan dari mana-mana.
Baca Juga: Kerajaan Gaib Klampis Ireng
Menurut Tono (33 tahun) lelaki asal Lasem, Rembang, sahabat neomisteri, air bekas penjamasan, ketan kuning bahkan wadahnya adalah merupakan berkah dari Sunan Bonang yang dapat digunakan untuk pelbagai maksud yang baik-baik saja. Misalnya, air penjamasan untuk penyembuh sakit, peluntur sial, bahkan ada juga yang menggunakan untuk menjaga sawahnya daru serangan hama.
Hikmah dari penjamasan Bende Kyai Becak (Bicak) adalah untuk mengingatkan agar umat Islam untuk selalu bersatu, saling mengingatkan dan juga saling memperhatikan antara satu dengan lainnya.
You must log in to post a comment.