Darah pejuang serta penanaman filosofi jihad dari para gurunya, jenderal yang juga kiai ini terus berjuang, berjuang dan berjuang untuk mengenyahkan penjajah dari bumi pertiwi tercinta ….
Oleh: Yulia Ardhiwati
Neomisteri – Pada masa penjajahan yang sesekali ditingkahi dengan pemberontakan dari para pejuang yang terus berusaha membebaskan diri dari tekanan penjajah Belanda, di Banten, lahir seorang bayi lelaki yang diberi nama Syam’un.
Syam’un dilahirkan dari orang tua bernama H Alwiyan dan Hj Hajar Syam. Kiai Syam’un lahir pada 5 April 1894 di Kabupaten Serang, yang saat itu masih berupa Keresidenan Banten dan masuk ke dalam Provinsi Jawa Barat. Syam’un masih keturunan dari KH Wasid, tokoh Geger Cilegon 1888 yang berperang melawan penjajah.
Bagi penjajah, Serang adalah suatu kampung di bilangan Banten yang hampir seluruh penduduknya merupakan pemberontak yang menentang penjajah Belanda. Kenyataan tersebut terlihat dengan jelas, betapa Haji Arbi, Haji Kasiman dan Haji Jaya ditangkap dan dibunuh, sementara, Hasanudin, kemenakan Haji Wasid ditangkap dan dibuang ke Padang, Sumatra Barat.
Sejak berusia 4 (empat) tahun, Syam’un sudah mulai dibekali dengan ilmu agama. Ia menimba ilmu agama dari KH Sa’i di Delingseng selama kurang lebih dua tahun — kemudian dilanjutkan dengan belajar kepada KH Jasim di Kamasan selama kurang lebih empat tahun — dan pada usia sebelas tahun, ia pun berangkat menimba ilmu agama ke Mekkah.
Tidak dapat dipungkiri, sejak dahulu, Mekkah merupakan daya tarik yang teramat kuat bagi orang-orang di dunia untuk mempelajari dan memperdalam ilmu agama Islam. Oleh sebab itu, pada abad 19, hampir seluruh ulama terkemuka di Indonesia lama bermukim di Mekkah bahkan beberapa di antaranya menjadi pengajar agama di Masjidil Haram.
Sejarah mencatat, para ulama Banten yang membakar semangat masyarakat untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan hingga terjadi Pemberontakan Cilegon 1888 adalah sosok yang pernah menimba ilmu agama Islam kepada Ulama Banten yang kala itu menjadi pengajar di Masjidil Haram — di antaranya Syekh Nawawi Al-Bantani yang mendapatkan julukan sebagai Sayid Ulama Hijaz, karena karyanya yang dikenal di seluruh dunia. Bagi masyarakat Banten, tokoh yang hingga akhir hayatnya tinggal dan wafat di Mekkah, lebih dikenal dengan sebutan Ki Nawawi.
Semangat anti penjajahan karena bertentangan dengan keadilan dan peri kemanusiaan juga terus dikobarkan oleh Syekh Abdul Karim yang merupakan murid dari Syekh Hatib Sambas pada saat ia kembali ke Banten pada rentang 1880-an. Sayangnya, pada 1886, atau dua tahun sebelum pecahnya Pemberontakan Cilegon, Syekh Abdul Karim diminta kembali ke Mekkah oleh Syekh Hatib Sambas untuk menggantikan sang guru menjadi pemimpin Tarekat Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiah.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, pada 1910, Syam’un yang sudah berhasil menyelesaikan pelajarannya di Mekkah, kemudian langsung pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi di Univesitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang berhasil diselesaikannya dalam 5 tahun. Bukan tidak mungkin, pada awal abad 20, Syam’un adalah orang Banten pertama yang mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi Islam terkemuka di dunia.
Pada 1916, Syam’un yang akhirnya lebih dikenal sebagai KH Syam’un, kembali ke Banten dan mendirikan Pesantren Citangkil. Perlahan namun pasti, KH Syam’un juga mengubah pendidikan yang mulanya dengan model sorogan dengan membangun Madrasah Al Khairiyah — yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, namun juga ilmu pengetahuan umum.
Pemikirannya yang jauh ke depan karena ingin melihat masyarakat Banten duduk sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, membuat ia juga mendirikan sekolah umum dengan menggunakan pengantar bahasa Belanda; HIS Al Khairiyah.
Sementara, darah pejuang yang dengan deras mengaliri nadinya, membuat KH Syam’un tidak dapat duduk berpangkutangan. Pada masa penjajahan Jepang, ia bahkan turut mengenyam pendidikan kemiliteran, bahkan aktif tergabung dalam PETA — bahkan berhasil menjadi Daidanco (Komandan Batalion-pen).
Karena kegigihan dan semangatnya yang tak pernah padam, akhirnya, KH Syam’un dipercaya untuk membentuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi I Banten dan Bogor, bahkan, selanjutnya ia diangkat menjadi Panglima Divisi I Banten dan Bogor. Pada 23 Mei 1946, seiring dengan pergantian nama dari Divisi I Banten dan Bogor menjadi Brigade I Tirtayasa yang tergabung dalam Divisi Siliwangi, KH Syam’un kembali ditunjuk sebagai komandan dengan menyandang pangkat kolonel.
Karier KH Syam’un mengantarkannya menjadi Bupati Serang periode 1945-1949. Walau telah menjabat sebagai Bupati, namun, semangat juang KH Syam’un untuk melepaskan diri dari penjajah terus saja berkobar. Hal itu dibuktikan, pada 1948, saat Agresi Militer Belanda II, ia memimpin Perang Gerilya di daerah Gunung Karang, Pandeglang hingga Kampung Kamasan, Kecamatan Cinangka, Serang.
Suatu peristiwa yang menggegerkan Banten terjadi pada 23 Desember 1948. Belanda yang ingin kembali menancapkan kukunya di Bumi Pertiwi melakukan serangan ke wilayah Banten. Kali ini, KH Syam’un tertangkap. Namun apa yang terjadi, malamnya, KH Syam’un dapat meloloskan diri. Esoknya, ia kembali bergabung dengan para pejuang dan bergerilya di Sektor I, wilayah Gunungsari.
Selanjutnya sudah dapat diduga, bersama-sama dengan pemimpin yang lain, KH Syam’un terus melakukan perang gerilya yang membuat pihak Belanda jadi kalang-kabut. Pada 28 Februari 1949, Senin, pukul 09.00, KH Syam’un wafat dengan tenang di tengah Hutan Cacaban, Kampung Kamasan, Desa Kamasan, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten — dan pada hari itu dikebumikan di Pemakaman Umum Kampung Kamasan.
Atas jasa-jasanya, pemerintah saat itu menaikkan pangkatnya satu tingkat menjadi Brigadir Jenderal. Dan pada Kamis 8 November 2018, sebagai tanda hormat, Presiden Jokowi memberikan gelar pahlawan nasional kepada Brigjen KH Syam’un. Selamat jalan pejuang, doa kami selalu mengiringimu.
——————-
Dari berbagai sumber terpilih