Malam itu, di tengah-tengah kelelahan akibat seharian melayani pembeli yang datang ke tokonya, ia baru sadar, ternyata, perubahan ini terjadi setelah ia menemukan batu cincin berwarna merah di Monumen Nasional beberapa waktu yang lalu ….
oleh: Andriono
Neomisteri – Sebagai keluarga muda yang baru beberapa waktu mengadu nasib di Jakarta, sudah barang tentu, aku benar-benar mampu berhemat. Jadilah aku mengontrak rumah di bilangan Johar Baru, dengan tujuan agar lebih mudah dan cepat sampai ke Pasar Senen — tempat aku mengais rezeki pada setiap hari.
Beruntung, Sri dan Ani, istri serta buah cintaku dapat menerima kenyataan ini. Mereka selalu saja menampakkan wajah ceria. Padahal, bukan sombong, di kampung, rumah kami lumayan besar dan memiliki halaman yang cukup luas.
Kami sengaja mengadu nasib di Jakarta untuk mencari pengalaman — sebagaimana para tetangga — yang setiap pulang kampung selalu menceritakan nikmatnya mencari uang di Jakarta.
Bak sudah menjadi pekerjaan rutin, tiap sampai di rumah rumah, Sri dengan riang menyambutku sambil membawakan segelas air teh manis hangat dan berkata; “Alhamdulillah, sudah pulang”.
Baca: Pengalaman Mistik Pengrajin Batu Akik
Sementara. Ani yang baru berusia 3 (tiga) tahun berusaha meminta digendong dengan cara memegangi salah satu kakiku. Biasanya, Ani langsung ku angkat dan kuciumi dengan gemas, sampai ia meronta-ronta sambil berteriak-teriak.
Setelah sejenak beristirahat dan usai makan malam, Sri selalu saja memijit bahuku dengan mesra dan tak lupa mengingatkan; “Istirahat yang cukup, jangan lupa nanti malam bangun untuk mendirikan qiyamul lail”.
Yups … sontak, aku langsung saja tersadar dan berdiri sambil mendaratkan ciuman mesra di pipinya, kemudian memasukkan motor ke ruang tamu dan menguncinya lalu mengajaknya tidur.
Hari terus saja berlalu, tanpa terasa, lima bulan sudah kami menghirup udara belantara Jakarta. Namun apa daya, dewi fortuna belum juga berpihak kepadaku. Sementara, barang dagangan kian susut sedang uang hasil penjualannya telah terpakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak mungkin bisa ditunda barang sebentar pun.
Jujur saja, belakangan, perlahan namun pasti, aku mulai merasa tertekan.
Baca: Mengintip Khasiat Warna Batu Cincin
Untuk menghilangkan kejenuhan, maka, malam itu kebetulan malam Minggu aku mengajak istri dan anakku untuk berjalan-jalan ke MONAS. Sesampainya di sana, setelah memarkir motor, Ani kelihatan begitu gembira.
Sambil tertawa-tawa, ia mengajak aku dan ibunya berjalan mengelilingi MONAS — langkah kecilnya terus saja terayun — hingga akhirnya kami tiba di dekat Patung Diponegoro. Tanpa sebab yang jelas, hatiku sontak berdesir ….
Ketika aku menatap patung tersebut, ada kilau cahaya merah di lantainya. Dengan perasaan tak menentu, aku mendekati dan memungut benda tersebut. Ternyata sebuah batu cincin. Anehnya lagi, tak ada seorang pengunjung pun di sekitar patung itu.
Dengan perasaan ragu, akhirnya, kumasukkan batu cincin itu ke dalam saku dan kami pun kembali berjalan.
Kami berhenti di salah satu sudut MONAS untuk menikmati sekadar nasi soto dan segelas teh manis panas, setelah itu kami pun pulang. Setibanya di rumah, ternyata, Ani yang kelelahan langsung saja tidur, sementara, aku dan istri masih sibuk memperhatikan bentuk batu cincin yang didapat di bilangan MONAS.
“Pa … langsung diikat saja, papanya Anan sebelah rumah kan tukang batu cincin”, kata istri mengingatkan.
Aku langsung saja menepuk dahi dan baru ingat punya tetangga yang punya lapak di Pasar Rawa Bening. Seketika aku langsung berjalan keluar. Ah kebetulan, Kang Nasrul, papanya Anan sedang merokok sambil menikmati kopi.
Aku langsung menegur dan berjalan ke arahnya. Setelah sejenak berbasa-basi, aku langsung mengangsurkan batu cincin tadi dan berkata; “Kang … tolong ikat dong”.
“Ow … ini batu mahal, tua”, katanya, “pasti warisan ya”, lanjutnya lagi.
Aku hanya mengangguk sambil melihat Kang Nasrul masuk ke dalam rumah untuk mengambil peralatannya. Ia langsung saja mengeluarkan emban cincin dan aku diminta untuk memilihnya. Setelah aku mendapatkan, ia langsung saja bekerja. Tak sampai lima belas menit dan setelah membayarnya cincin tersebut telah melingkar di jari manisku.
Baca: Tiap Tahun Selalu Meminta Tumbal Nyawa
Aku pun mohon diri untuk beristirahat. Dan seperti biasa, sambil terkantuk-kantuk aku pun mendirikan qiyamul lail dan dilanjutkan dengan membaca Surat Yasin. Pada saat membaca, di antara kantuk yang teramat hebat, aku merasa didatangi seorang lelaki berwajah teduh dan selalu tersenyum.
Ia berkata dengan lembut; “Cucuku … tiap malam, jangan sekali-kali lupa qiyamul lail dan membaca Surat Yasin walau hanya sekali. Karena akan membuatmu menjadi kuat dan kaya raya. Itu semua karunia dari Allah, maka, banyaklah beramal dan jangan langgar larangannya!”
Dan benar, ketika Azan Subuh berkumandang, istriku menggoyang-goyangkan tubuhku sambil berkata; “Pa bangun … Subuh”.
Aku terbangun, lamat-lamat terdengar istriku berkata; “Hati-hati … jangan sampai jatuh di kamar mandi”.
Usai mandi dan mendirikan salat Subuh, aku pun menyesap kopi panas dan goreng pisang sambil menghisap rokok. Kali ini, entah kenapa, hatiku tak lagi pepat seperti kemarin ….
Baca: Penjaga Gaib Harta Karun Candi Abang
Belum lagi selesai membuka kios, beberapa potong pakaian telah terjual. Boleh dikata, hari ini tidak seperti biasanya. Menjelang pukul 16.00 aku telah meminta Koh Luis agar segera mengirimkan lagi berbagagi jenis dan model pakaian — rutinitas itu membuatku tak sempat berpikir yang aneh-aneh.
Malam itu, di tengah-tengah kelelahan yang amat sangat dan ketika aku menyeka dahi dengan tisu, tampak cincin merah di jari manisku. Sontak aku terperanjat. Anganku langsung saja terbang jauh ke beberapa waktu yang lalu.
“Jangan-jangan, karunia Allah lewat cincin ini”,desisku.
Namun aku tak mau berandai-andai. Yang pasti, qiyamul lail dan membaca Surat Yasin terus saja aku lakukan karena hal tersebut merupakan petuah dan amanah Mbah Yai Moeid ketika kami akan berangkat merantau ke Jakarta.