Walau menjadi penari adalah cita-citanya sejak kecil, namun, Inah tak pernah menyangka jika akhirnya ia hanya dijadikan sebagai budak pemuas nafsu dari makhluk gaib yang selama ini mengaku sebagai penolongnya ….
oleh: Opik Suaib
Neomisteri – Bang Opar (37 tahun), sahabat neomisteri menceritakan pengalamannya ketika ia masih muda dan sedang kasmaran dengan Dewi, salah seorang gadis dan merupakan bunga desa dari Karawang. Boleh dikata, kala itu, tiap ada waktu Bang Opar selalu menyambangi kekasihnya — selain lebih mempererat tali cinta yang sudah mulai terjalin, juga untuk mengenal keluarga sang kekasih dengan lebih dekat lagi.
Hingga pada suatu hari, ketika ia baru saja hendak pamit, mendadak seisi kampung geger. Ternyata, Wawan (25 tahun) salah satu pemuda kampung di mana kekasihnya tinggal kesurupan. Wak Dulah lelaki yang dituakan di desa itu tak mampu mengatasinya. Ia angkat tangan dan wajahnya pun memucat. Akibatnya, semua yang melihat dan mengetahui menjadi gaduh.
Baca: Kutukan Tumbal Proyek di Balik Keindahan Kastil Maruoka
Bang opar pun mencoba mencari tahu. Setelah tahu dan sejenak menimbang-nimbang, akhirnya ia berbisik ke telinga kekasihnya; “Rasanya gua mampu ngatasinnya”.
Dewi terkesiap. Ia mengira calon suaminya mengada-ada. Maklum, sejak kenal, yang ia tahu Bang Opar adalah sosok yang tidak pernah serius. Selalu bercanda.
“Aa jangan bercanda. Enggak enak sama Abah dan tetangga”, sahut Dewi dengan rasa khawatir.
“Tenang”, katanya sambil melangkah dan mendekati Wak Dulah. Setelah mencium tangan Wak Dulah, Opar pun minta izin untuk menyadarkan Wawan yang kelihatannya semakin lemas tak berdaya, namun, terus meronta-ronta.
Wak Dulah pun mengangguk. “Sok … mudah-mudahan berhasil. Uwak udah enggak sanggup. Sekali ini yang masuk kelewat kuat”, katanya seolah memperingatkan Bang Opar agar tidak gegabah.
Baca: Penghuni Gaib Kontrakan Tua
Bang Opar pun mengangguk sambil berjalan mendekati Wawan yang masih terus meronta. Ajaib, begitu kepala Wawan dipegang oleh Bang Opar … badannya langsung lemas. Semua yang tadi memegangi tampak bingung. Mereka tak pernah menyangka, hanya sekali sentuh Wawan langsung sadar.
Belum lagi hilang kebingungan orang-orang, tiba-tiba dari mulut Wawan terdengar suara merintih lirih; “Terima kasih telah menyadarkan saya dengan cara yang halus”.
“Sama-sama”, demikian sahut Bang Opar, “sekarang silakan keluar dan kembali ke tempat semula. Jangan ganggu orang, kecuali, mereka sudah bertindak kelewat batas”, sambungnya lagi.
Baca: Pengalaman Mistik Penggali Makam
Arwah yang mengaku sebagai Neneik Inah pun berjanji tidak akan menggangu siapa pun, asalkan, mereka tidak mengganggu tempat tinggalnya yang ada di sekitar stasiun — menurutnya, di sana ia sedang menunggu pujaan hatinya yang menghilang saat mencari dirinya yang diculik kemudian dibunuh oleh para centeng penjaga tuan tanah yang begitu ingin memperistri dirinya.
Ya … waktu itu, siapa yang tak mengenal dirinya. Penari ronggeng muda, cantik, bertubuh sintal dan berkulit kuning langsat, yang menjadi incaran setiap lelaki hidung belang. Boleh dikata, siapa pun yang melihat dirinya menari, pasti jatuh cinta dan begitu ingin merasakan kehangatan tubuhnya.
Nek Inah ingat, usai mandi junub saat mendapatkan haid yang pertama … malamnya, dengan membawa sesaji dan berbagai kelengkapan lainnya ia pun berangkat ke sumur keramat yang berair tawar walau ada di tepian pantai. Selepas itu, ia disuruh tidur dengan beralaskan kain batik di salah satu makam yang letaknya tak begitu jah dari sumur tersebut.
“Tidur di sini kalau mau berhasil. Besok baru Aki jemput”, kata Ki Marta sambil berjalan menjauh.
Karena cita-citanya sejak kecil memang ingin menjadi penari terkenal, Inah pun mengangguk. Tak lama setelah itu, ia hanya merasakan angin demikian keras membawa bau anyir yang demikian menyengat menghampirinya. Inah hampir pingsan karena bau yang teramat menyangat itu — yang ia ingat, wajah buruk dengan mulut penuh liur menciumi wajah dan mulutnya dengan rakus kemudian merenggut kesuciannya. Paginya, ketika tersadar, ia merasakan ada sesuatu yang amat berharga hilang dari dirinya.
Baca: Mengenali Perilaku Aneh 7 Hewan Jelang Gempa
Keanehan pun teradi. Mula pertama menari di depan orang banyak, semua orang berdecak kagum. Mereka berbisik-bisik ingin berkenalan atau menyentuh bagian tertentu dari tubuhnya sambil menjatuhkan uang sawer. Boleh dikata, sawer yang didapat Inah lebih besar dari yang penari yang lain.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, Inah mulai merasakan dirinya diam-diam jatuh hati dengan Udin, petani bersahaja. Jika ada pertunjukan, Udin hanya selintas memperhatikan Inah. Setelah melemparkan senyum, biasanya, Udin pun pulang ke rumahnya untuk beristirahat.
Lewat salah seorang tetangganya, Inah tahu kalau Udin juga menaruh hati padanya. Tapi apa daya, ia tak berani menerima cinta tulus sang pemuda karena dirinya sudah tidak suci lagi. Apalagi, tiap malam Jumat purnama penuh, makhluk gaib yang selama ini merasa menolong dirinya agar jadi cantik, terkenal dan kaya, selalu datang untuk memuaskan nafsunya. Biasanya, selepas itu, Inah pasti akan sakit selama kurang lebih lima sampai tujuh hari.
Namun, Udin tetap bersedia menerima Inah apa adanya. Ia berharap, suatu hari nanti Inah akan menjadi istri sekaligus ibu dari anak-anaknya.
Baca: Mengintip Keangkeran Rumah Sakit Jiwa Gonjiam Korea Selatan
Hingga suatu hari, Inah yang sedang menari di kampung sebelah dikabarkan hilang diculik para centeng tuan tanah yang begitu bernafsu untuk mejadikan dirinya sebagai gudik. Mendengar hal itu, tanpa banyak pikir, Udin pun bergegas mencari di mana keberadaan sang pujaan hati.
Waktu terus berlalu, seminggu setelah itu, mereka hanya bisa menemukan kain yang biasa dipakai Inah tersangkut di pepohonan. Kain itu dipenuhi dengan lumuran darah. Semua warga desa merasa sedih. Maklum, selain terkenal, Inah juga tidak sombong dan senang menolong mereka yang membutuhkan — akhirnya, kain berlumur darah itu dikuburkan dengan layak di tempat diketemukannya. Sementara, Udin tak pernah kembali dan tak ada kabar beritanya.
Udin bak raib ditelan bumi.
Menurut Inah, ia terus akan berusaha mencari sang kekasih dan para centeng yang mencelakakannya dengan cara menunggu Udin di tempat itu. Maklum, tempat itu merupakan saksi bisu dari janji Udin yang bersedia mempersunting dirinya.
Agaknya, karena ulah manusia yang kadang kelewatan, membuat Nek Inah yang sedang menunggu kekasihnya menjadi berang dan menghukum dengan caranya.