Rasa penasaran langsung terbayar lunas, penghuni gaib Hutan Kalang seolah tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh salah seorang sahabat kami ….
Oleh: Eka Natayuda
Neomisteri – Pada liburan semester kali ini, kami berlima, Nurdin, Arif, Bambang dan Heru sengaja berlibur ke kampung halaman Teguh yang terletak di Jatirogo. Maklum selama berkumpul, ia selalu menceritakan keangkeran salah satu hutan di dekat kampung halamannya. Hutan Kalang yang terletak di Desa Besowo — termasuk dalam KPH Kebonharjo, Kecamatan Jatirogo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Di rumah Teguh, kedua orang tua, kakak dan adik begitu juga para tetangganya berusaha dengan berbagai cara untuk mencegah mereka melakukan perjalanan ke Desa Besowo. “Tolong pikirkan masak-masak”, demikian kata mereka hampir bersamaan, “hutan itu merupakan alas gung liwang liwung. Sangat angker”, lanjut sang ayah dengan nada penuh kekhawatiran.
“Bapak, Ibu tidak perlu khawatir,” kata Teguh meyakinkan. “Kita hanya sekadar lihat-lihat dan tidak menginap,” lanjutnya mantap.
Berbagai upaya talah dilakukan, tetapi apa daya, kelima sahabat itu tetap keukeuh pada pendiriannya. Mereka begitu yakin karena Nurdin dianggap sebagai sosok yang mumpuni dalam hal-hal gaib. Maklum, selain besar di pesantren, Nurdin juga terlahir dari keluarga yang dianggap memiliki ilmu kebatinan tinggi di kampung halamannya. Jambi.
Kelimanya sengaja memilih berangkat pagi sekitar pukul 10.00 WIB, agar siang dapat melihat-lihat Hutan Kalang, dan sore sudah kembali ke rumah Teguh.
Rencana tinggal rencana. Begitu mereka menginjakan kaki di Hutan Kalang hujan pun turun dengan lebatnya. Mereka berlarian mencari tempat untuk berteduh. Tanpa sadar, kelimanya masuk lumayan jauh ke dalam Hutan Kalang. Hingga akhirnya kelimanya mnemukan sebuah gubug untuk tempat berteduh.
Waktu terus merangkak. Kegelapan pun mulai menyungkupi Hutan Kalang.
Atap yang bocor di sana-sini membuat kelimanya saling merapat. Hujan mulai agak reda, di tengah-tengah gerimis, mereka hanya mengandalkan sebuah lampu senter untuk poenerangan yang harus dihidupkan sekali-kali untuk menghemat batere.
Nurdin mengusulkan untuk segera kembali. Teguh yang memegang senter dan berjalan di depan diikuti oleh Heru, Bambang dan Arif. Sementara, Nurdiun berjalan di belakang mereka.
Belum lagi jauh berjalan, mendadak, tampak bola api menghujam ke salah satu pohon jati. Sontak, pohon pun terbakar. Suara ranting terbakar pun terdengar lamat-lamat. Mereka saling pandang, mana mungkin, pohon yang basah akibat hujan seharian dapat terbakar!
Entah siapa yang mulai, kelimanya langsung saja berlarian tunggang-langgang. Belum lagi hilang ketakutan mereka, mendadak, di depan sebatang pohon jati tumbang menghadang jalan. Nurdin yang mafhum akan hal itu, langsung saja berteriak; “Allahu Akbar … Allahu Akbar … Allahu Akbar, jangan lompati batang itu!”
Dengan hati-hati dan perasaan was-was, kelimanya berjalan sambil mengitari batang jati yang tumbang. Setelah itu, kelimanya kembali berlari dengan sekuat tenaga. Rasa lelah baru dirasakan ketika kelimanya tiba di pinggiran Hutan Kalang.
Baru saja mengatur napas, tiba-tiba, dari kejauhan tampak dua cahaya yang kian lama kian mendekat. “Alhamdulillah … ternyata ada mobil yang lewat,” desis Nurdin.
“Semoga mobil,” kata yang lain hampir bersamaan.
Dan benar, ketika dekat, dari balik pintu mobil salah seorang tampak menjulurkan kepalanya sambil bertanya penuh selidik; “Siapa kalian dan apa yang kalian lakukan di sini?”
Nurdin pun menjawab sambil menunjuk ke dalam hutan; “Niatnya hanya ingin jalan-jalan di Hutan Kalang. Tapi karena hujan, kami pun mencari tempat berteduh di dalam sebelah sana.”
“Syukur kalian selamat. Cepat naik,” demikian kata orang itu yang ternyata Polisi Kehutanan yang sedang melakukan patroli rutin.
Singkat kata, setibanya di Kantor KPH Kebonharjo, kelimanya kembali ditanya maksud dan tujuannya sambil diingatkan agar selalu melapor kepada petugas jika hendak masuk ke dalam hutan. Kelimanya pun meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.
Salah seorang Polisi Kehutanan yang bernama Pak Warno pun berkata sambil menatap Nurdin; “Kelihatannya, salah satu dari kalian memang sengaja ingin membuktikan keangkeran Hutan Kalang”.
Nurdin tersenyum malu dan mengangguk lemah.
Pak Warno pun menceritakan asal-usul Hutan Kalang; Mulanya, hutan ini milik Mbah Palu, salah seorang yang dituakan di Desa Besowo yang mampu menaklukan bahkan mengatur semua makhluk halus yang ada di dalamnya. Walau merupakan hutan yang angkernya sulit ditandingi, namun, ketika Mbah Palu masih hidup, masyrakat tidak pernah resah.
Maklum, Mbah Palu mampu mengatur bahkan memerintahkan mahkluk halus di dalamnya untuk membantyu manusia untuk menjaga hartanya. Oleh sebab itu, sampai sekarang, masih banyak orang datang ke Hutan Kalang membeli genderuwo kepada keturunan Mbah Palu untuk menjaga harta bendanya.
“Jadi, tadi, apa yang kalian lihat adalah pembuktian dari keangkeran Hutan Kalang. Apalagi, salah seorang dari kalian memang benar-benar ingin membuktikannya,” pungkas Pak Warno.
Para petugas yang baik hati itu meminjamkan telepon agar Teguh dapat memberitahu keluarganya jika mereka berlima dalam keadaan selamat tak kurang suatu apa dan baru bisa kembali esok harinya.