Demi mengemban tugas Sultan Muhammad I dari Kesultanan Turki Utsmaniyah, akhirnya, Syekh Subakir dapat mengetahui penyebab utama kegagalan para ulama pendahulu dalam menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa ….
oleh: E. Saputra
Neomisteri – Warta berkisah, khalifah dari Kesultanan Turki Utsmaniyah, Sultan Muhammad I, bermimpi mendapat tengara untuk mengirimkan sembilan ulama untuk melakukan syiar Islam di tanah Jawa. Jumlah ulama harus tetap sembilan. Jika ada yang wafat atau kembali, maka, harus segera digantikan oleh ulama lain.
Tapi apa daya, walau telah beberapa kali mengirimkan utusan, namun para ulama selalu saja mengalami kegagalan. Betapa tidak, selain masih merupakan hutan belantara yang dihuni oleh makhluk halus dan jin-jin jahat yang memiliki kesaktian tinggi, masyarakat Tanah Jawa memegang teguh kepercayaan yang selama ini dianutnya.
Oleh sebab itu, banyak ulama bahkan pemeluk agama Islam yang menjadi korban, sehingga syiar Islam pun praktis terhambat.
Hingga pada suatu hari, salah seorang ulama asal Persia yang bernama Syekh Subakir diutus untuk menangani pelbagai masalah gaib yang selama ini menghalangi syiar Islam di Tanah Jawa. Menurut Babad Tanah Jawa, Syekh Subakir membawa batu hitam dari Arab yang telah dirajah. Batu yang dikenal dengan nama Rajah Aji Kalacakra ditanam di tengah-tengah Tanah Jawa, tepatnya di puncak Gunung Tidar yang diyakini banyak orang sebagai paku-nya Pulau Jawa.
Akibatnya sangat luar biasa. Kekuatan yang memancar dari batu hitam itu menimbulkan gejolak. Matahari yang semula cerah dengan kicauan burung dan semilir angin berubah gelap, hitam, kental selama tiga hari tiga malam diiringi dengan angin yang bertiup amat kencang, kilat berlompatan sambung menyambung dan gunung gemunung gemuruh tiada henti.
Alam seolah murka ….
Segala makhluk halus penghuni Tanah Jawa lari lintang pukang. Ada yang hanyut terbawa air bah, ada pula yang terbakar karena tidak kuat menahan hawa panas yang terpancar dari batu hitam tersebut. Nnamun yang selamat, melarikan diri ke hutan-hutan atau ke tengah-tengah lautan.
Kenyataan itu membuat Sabdo Palon yang lebih dikenal dengan Ki Semar Badranaya, Sang Danyang Tanah Jawa, yang telah bersemayam selama sembilan ribu tahun di puncak Gunung Tidar terusik dan mencari sumber penyebab dari kekacauan tersebut hingga bertemu dengan Syekh Subakir dan menanyakan maksud pemasangan batu hitam tersebut.
“Batu hitam itu untuk mengusir segala bangsa lelembut pengganggu syiar Islam di Tanah Jawa yang dilakukan para ulama utusan Khalifah Turki Utsmaniyah,” kata Syekh Subakir.
Silang pendapat pun terjadi. Tidak hanya perdebatan, adu kesaktian pun berlangsung di antara keduanya yang konon terjadi selama empat puluh hari empat puluh malam. Karena tak ada yang kalah dan yang menang, maka, terjadilah kesepakatan di antara keduanya.
Selain tidak boleh menyebarkan Islam dengan cara memaksa, kesepakatan lainnya adalah; para Raja Islam itu silahkan berkuasa, namun jangan sampai meninggalkan adat istiadat dan budaya yang ada. Silakan kembangkan ajaran Islam sesuai dengan kitab yang diakuinya, tetapi, biarlah adat dan budaya berkembang sedemikian rupa.
Sementara, dari versi yang lain, pembersihan Gunung Tidar yang dilakukan oleh Syekh Subakir menggunakan Tombak Kiai Panjang. Tombak pusaka nan sakti itu ditancapkan tepat di puncak Gunung Tidar sebagai penolak bala yang mampu mengeluarkan hawa panas teramat sangat bagi para lelembut dan bangsa jin yang berdiam di sana.
Boleh dikata hampir tidak ada yang tersisa. Semuanya lari tunggang langgang karena tak kuat menahan hawa panas yang sangat luar biasa itu. Sebagian ada yang melarikan diri ke Alas Roban, sebagian lainnya ke Gunung Srandil, bahkan ada pula yang lari ke arah timur dan sampai sekarang masih menempati daerah di Gunung Merapi yang oleh sebagian masyarakat sampai sekarang diyakini merupakan daerah yang angker.
Sejak itu, syiar Islam di Tanah Jawa yang dilakukan oleh Wali Sanga periode pertama berjalan dengan lancar. Sampai sekarang, tombak tersebut masih dijaga oleh masyarakat dan ditempatkan di Puncak Gunung Tidar yang belakangan lebih dikenal dengan nama Makam Tombak Kyai Panjang.
Selanjutnya, nama Syekh Subakir sebagai penumbal Tanah Jawa pun menjadi legenda. Terutama di kalangan para penghayat ilmu-ilmu gaib, pendekar, bangsawan bahkan masyarakat luas. Mereka terkesan sangat mendewakan ulama asal persia tersebut. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, khususnya, menjaga aqidah umat Islam, maka sekitar 1462 Masehi, Syekh Subakir pun kembali ke negaranya, Persia.
Tujuannya sangat jelas, selain tugasnya untuk memberihkan Tanah Jawa dari pelbagai gangguan lelembut sudah selesai, ia juga berharap agar manusia kembali kepada tauhid yang benar. Hanya satu yang layak disembah; Allah SWT.
Pada akhirnya, perjuangan Syekh Subakir diteruskan oleh para Wali Sanga yang selanjutnya, di antaranya; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan lain-lainnya.
———————–
Disarikan dari berbagai sumber terpilih