Sang kakek, Kiai Abdul Wahab yang merupakan salah seorang pengikut setia Pangeran Dipanegara , sengaja menyingkir dengan menyusuri Kali Progo, Sentolo, Godean, Secang, Temanggung hingga ke Parakan ….
Oleh: Suraji
Neomisteri – Setelah berhasil menangkap Pangeran Dipanegara dengan cara yang teramat licik dan memalukan, ternyata, Belanda tidak tinggal diam. Betapa tidak, Perang Jawa telah membuat pihak Belanda harus kehilangan banyak prajurit sekaligus biaya yang teramat besar.
Oleh karena itu, perburuan terhadap para pengikut Pangeran Dipanegara gencar dilakukan. Dan salah satunya adalah Kiai Abdul Wahab yang merupakan kakek dari Kiai Subchi yang pada akhirnya lebih dikenal sebagai Kiai Bambu Runcing. Menurut beberapa saksi mata, ketika pasukan Belanda menyerbu kembali Jawa pada Desember 1945, barisan santri dan kiai bergerak bersama para pejuang dan masyarakat untuk melawan — pada pertempuran Ambarawa — Jenderal Sudirman bahkan berkunjung untuk meminta doa berkah dan bantuan dari Kiai Subchi. Oleh sebab itu, tidak heran, jika Jenderal Sudirman dianggap sebagai salah seorang dari santri Kiai Subchi.
Sejarah mencatat dengan tinta emas, kala itu, tepatnya pada masa kemerdekaan, Parakan Temanggung manjadi basis perjuangan yang sangat diperhitungkan oleh pihak penjajah. Dari sini, tepatnya pada 30 Oktober 1945, di Masjid Kauman Parakan, lahir wadah pergerakan yang dikenal dengan nama Barisan Muslimin Temanggung (BMT) yang dipelopori oleh para kiai dan santri.
Perlahan tetapi pasti, BMT yang didukung oleh Kiai Subchi Parakan menjadi besar dan kuat. Patroli militer Belanda yang melewati Parakan harus bersiap-siap untuk melepaskan senjata bahkan nyawanya. Perjuangan BMT dan Kiai Subchi telah mengundang simpati dari para tokoh nasional sehingga mereka sengaja datang untuk bertemu, di antaranya; Jenderal Soedirman, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Zaenal Arifin (Hizbullah), Kiai Masykur (Sabilillah), Kasman Singadimedja (Jaksa Agung), Mohammad Roem, Mr. Wangsanegara, Mr. Sujudi, Roeslan Abdul Gani dan beberapa tokoh lainnya.
Kharisma Kiai Subchi adalah karena satunya kata dengan perbuatan. Perilaku murah hati dan suka membantu warga sekitar yang kekurangan, bahkan, tak segan memberikan sebidang lahan bagi yang tidak memiliki atau membagikan hasil pertaniannya yang berlimpah, membuat warga masyarakat sekitar begitu mencintainya. Sejatinya, apa yang dilakukan oleh Kiai Subchi adalah pengejawantahan dari gerak hidup dan kehidupan kaum muslimin; sebab di antara yang kamu dapat, ada sebagian milik orang lain di dalamnya.
Selaras dengan yang tersebut di atas, sebagai kiai yang sekaligus pejuang, Kiai Subchi pun merupakan sosok yang mampu menggelorakan semangat pemuda untuk berjuang melawan penjajah. Pada masa itu, Kiai Subchi meminta kepada para pemuda untuk mengumpulkan yang ujungnya diruncingkan (bambu runcing yang pada akhirnya menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah). Setelah diberi asma’ dan doa khusus, maka, keberanian para pemuda jadi meningkat. Dalam setiap pertempuran atau penghadangan patroli, tak ada rasa takut barang setitik pun di hati mereka. Tekad mereka demikian bulat; lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup dijajah bangsa lain. Itulah sebabnya, kenapa Kiai Subchi akhirnya dikenal sebagai Kiai Bambu Runcing.
Tidak ada yang dapat menepis, pada masa itu, demikian catatan Kiai Saifuddin Zuhri (1919-1986), betapa Kiai Subchi merupakan sosok yang acap didatangi oleh para pejuang kemerdekaan. “Berbondong-bondong barisan-barisan laskar dan TKR menuju Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung pengantin Sindoro dan Sumbing. Di antaranya yang terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan Kiai Masykur”, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo, “Barisan Banteng” di bawah pimpinan dr. Muwardi, Laskar Rakyat di bawah pimpinan Ir. Sakiman, Laskar Perindo di bawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi. Sudah beberapa hari ini, baik TKR maupun badan-badan kelaskaran berbondong-bondong menuju Parakan”.
Kenyataan tersebut membuat Kiai Subchi yang dikenal sebagai sosok sederhana, zuhud dan sangat tawadhu’, hanya dapat menangis, menangis dan menangis. Betapa tidak, Kiai Subchi merasa dirinya tidak layak untuk melakukan hal itu. Perasaan ini diungkapkan Kiai Subchi ketika KH Wahid Hasyim, KH. Zainul Arifin, dan KH Masjkur datang mengunjunginya. Usai Kiai Subchi mengungkapkan segala perasaannya, hati panglima Hizbullah, KH. Zainul Arifin pun tergetar atas keikhlasan sahabatnya itu. Sementara, Kiai Wahid Hasyim menguatkan hati sang Kiai Bamburuncing dengan mengatakan; bahwa apa yang dilakukannya sudah benar”.
Ternyata tidak cukup hanya di kawasan Parakan atau Jawa Tengah saja, pada masa perang mengusir sekutu di Surabaya dan sejumlah daerah lainnya, ratusan bahkan ribuan santri baik yang tergabung dalam Hizbullah dan Sabilillah, begitu juga Tentara Keamanan Rakyat (TKR) selalu membanjiri rumah Kiai Subchi untuk menyepuh bambu runcingnya dengan doa.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, ketika barisan Kiai mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926, Kiai Subchi pun turut serta dengan mendirikan NU Temanggung. Kiai Subchi diangkat menjadi Rais Syuriah NU Temanggung, dengan didampingi oleh Kiai Ali (Pesantren Zaidatul Maarif Parakan) dan Kiai Raden Sumomihardho, sebagai wakil dan sekretaris — yang merupakan ayahanda Kiai Muhaiminan Gunardo, tokoh pesantren dan NU di kawasan Temanggung-Magelang.
Saat itu, Kiai Subchi meminta bahkan mendukung para pemuda untuk berkiprah mengisi kemerdekaan lewat organisasi. Pada rentang 1941, Anshor Nahdlatul Oelama (ANO) pun melakukan pengkaderan di Temanggung yang langsung dipantau oleh Kiai Subchi.
Selamat jalan Kiai Subchi, semoga perjuanganmu dapat menjadi teladan bagi kami.
————
Dari berbagai sumber terpilih