Di tengah-tengah kepekatan malam, mendadak, seorang lelaki renta dan lusuh memberikan dua keping koin tua sambil berpesan agar aku bersedia menerima dan menyimpannya ….
oleh: Dinda Ambarwati
Neomisteri – Peristiwa menakutkan ini terjadi di rentang 1970-an, demikian pengakuan tulus dari salah seorang sahabat neomisteri bernama Rudi (40 tahun) yang mukim di bilangan Jakarta Utara.
Seperti biasa, malam itu, aku minta izin pada istri untuk memancing di sekitar Marunda tepatnya di dekat sebuah makam keramat yang terdapat di pinggiran laut. Selain menghilangkan kepenatan bekerja, kebetulan memancing adalah merupakan hobiku.
Setelah mencium kening istri dan memeluk Andra, anakku, kaki pun kulangkahkan. Keduanya menatap kepergianku dengan penuh kasih sampai motor yang kukendarai menghilang di tikungan jalan. Di tengah perjalanan, entah kenapa, baru kali ini aku merasakan hatiku begitu acap berdesir tanpa sebab.
Perasaan jadi semakin tak menentu ketika ekor mata kiriku beberapa kali seolah menangkap ada kelebat bayangan yang selalu mengikuti. Untuk mencegah hal yang tak diinginkan, Ayat Kursi pun langsung kubaca dalam hati berulang-ulang. Bahkan ketika sampai di tujuan, aku juga membaca Ajian Gumbala Geni yang menurut kakek mampu mengusir segala makhluk-makhluk halus dari tempat di mana kita membacanya.
Tak seperti biasanya, di tempat itu hanya ada dua pemancing; Bang Ali dan Nurdin. Setelah saling bertegur sapa, aku pun sengaja memilih tempat yang agak lumayan jauh dari keduanya.
“Hati-hati Bang, semoga dapat banyak dan besar-besar,” kata keduanya bersamaan.
“Oke …,” jawabku tanpa menoleh sambil melambaikan tangan.
Aku berjalan di antara tetumbuhan bakau yang tumbuh subur di pinggiran pantai. Setelah mendapatkan tempat yang tepat, aku segera memasang umpan dan melemparkan kail dan mulai menunggu. Saat itu, anganku pun melayang jauh seolah memutar ulang film hidup dan kehidupan yang kujalani selama ini. Kuhela napas panjang beberapa kali untuk menghilangkan kepepatan yang menghimpit dada.
Baca juga: Teluh Air Mandi Jenazah
Maklum, sudah beberapa kali pemilik kontrakan mengingatkan aku agar segera melunasinya. Tapi apa daya, sekali ini, entah kenapa, aku begitu kesulitan untuk mendapatkan pinjaman. Alih-alih utang, beberapa teman yang meminjam uangku juga angkat tangan ketika aku datangi.
Di tengah-tengah itu, mendadak aku mendengar langkah yang mendatangi. Ketika kutoleh, tampak seorang lelaki renta mendatangi. “Bagaimana Nak, sudah dapat?” Tanyanya dengan suara bergetar.
“Belum,” jawabku singkat sambil bergeser untuk sekadar tempat duduk bagi lelaki renta itu.
“Saya Sunyoto,” kata lelaki renta itu memperkenalkan diri.
Kusambut sambil mencium tangan keriputnya dan menyebut; “Rudi.”
***
Menurut pengakuannya, ia keturunan terakhir dari orang yang kaya raya di kampungnya. Boleh dikata, ia terlahir dari keluarga kaya raya, sehingga tak pernah tahu dari mana harta itu didapatkan oleh leluhurnya. Yang ia tahu, tiap tahun, keluarga dari salah seorang yang membantu menggarap sawah, ladang atau membantu di rumahnya ada saja yang meninggal dunia. Semua kelihatan wajar, selain usia, sakit, ada juga beberapa yang mengalami kecelakaan.
Rahasia besar itu baru terbuka, ketika, salah seorang sahabat lamanya datang berkunjung dan melihat ada sesuatu keanehan di ruang pusaka yang hanya pada waktu-waktu tertentu dibuka untuk mengganti sesaji.
Menurutnya, di ruang itu terdapat dua pusaka berpasangan yang selama ini membantu keluarganya untuk menimbun kekayaan.
“Semacam pesugihan?” Tanya Sunyoto penasaran.
“Benar,” jawab sang sahabat singkat, “kekuatannya sangat luar biasa. Pesugihan jenis ini agak berbeda dari biasanya, harus diwariskan kepada siapa pun yang mau menerima atau merawatnya. Biasanya benda itu mereka letakkan di suatu tempat agar ditemui oleh seseorang yang kemudian tanpa sadar bersedia merawatnya,” imbuhnya panjang lebar.
“Yang lebih aneh lagi adalah, benda tersebut benar-benar memilih siapa yang bakal merawatnya. Jadi tidak untuk sembarang orang,” lanjutnya lagi.
Sejak kedatangan sang sahabat, Sunyoto benar-benar tak bisa tenang. Ia tahu benda yang dimaksud adalah sepasang koin dengan lubang segi empat di tengahnya dan terbuat dari kuningan, sedang satunya berbentuk bulat pipih dengan gambar seorang pendeta berjenggot dan bertuliskan aksara Tionghoa.
Ia tak pernah tahu, siapa gerangan leluhurnya yang sampai nekat dan harus bersekutu dengan alam kegelapan. Hampir dua tahun, Sunyoto berkeliling kota di sekitar Jawa dan sengaja menjatuhkan dua koin kuno miliknya di tempat-tempat yang mencolok dan ramai dilalui orang. Anehnya, beberapa hari kemudian, Sunyoto menemukan kedua benda tersebut masih tergeletak di tempatnya semula. Kenyataan ini membuatnya frustrasi. Apalagi, ia hanya dikaruniai seorang anak yang kini sudah menjadi dokter.
Haruskah ia mengorbankan buah hatinya? Akhirnya, Sunyoto memutuskan keluar rumah untuk mencari siapa gerangan jodoh kedua koin kuno itu selanjutnya hingga bertemu dengan Rudi ….
***
Malam semakin tua. Sekali ini, tanpa menimbang apapun, Rudi menerima kedua koin kuno itu dengan harapan akan menjualnya ke toko barang antik. Siapa tahu, hasilnya dapat untuk menutup uang pembayaran kontrak rumahnya. Setelah menyerahkan kedua koin kuno, Pak Sunyoto pun pamit untuk pulang sambil berkata; “Saya berterima kasih karena Nak Rudi sudah bersedia menerimanya.”
Rudi hanya mengangguk sambil tersenyum dan melambaikan tangan untuk melepaskan kepergian Pak Sunyoto. Sementara angannya melayang ke toko barang antik yang banyak terdapat di ruas Jalan Surabaya, hatinya pun berbisik, “Semoga terjual mahal dan dapat untuk bayar kontrak rumah. Syukur-syukur ada kelebihan.”
Baca juga: Kisah Misteri Supir Ambulan Pengantar Jenazah
Enggan berlama-lama, Rudi pun mengemasi segala peralatan dan ikan hasil ia memancing. Ia masih menjumpai dua orang rekannya di tempat yang sama. Ketika akan pamit, mendadak, kotak pemberian Pak Sunyoto yang berisi koin kuno itu terjatuh. Ketika ia akan memungutnya, mendadak, Bang Ali berteriak sambil menunjuk Nurdin; “Ah … itu kan yang elu cari Din.”
Secara singkat Bang Ali menceritakan mimpi yang hampir sebulan ini selalu mendatangi Nurdin. Intinya adalah agar ia bersedia merawat sepasang koin keramat, agar dapat segera terbebas dari belenggu kemiskinan. Rudi pun tergegau. Ia tak menyangka, ternyata koin kuno itu langsung berpindah tangan.
“Sekarang pegang dulu ini,” kata Nurdin sambil menyerahkan uang sebesar lima ratus ribu. “Dan tolong nomor rekening Abang,” lanjutnya lagi. Rudi segera menyerahkan apa yang diminta dan bergegas pulang.
Setibanya di rumah, ia langsung menceritakan apa yang baru saja dialaminya dan menjelang siang ia membayar uang kontrakan kepada si pemilik rumah.
Sebulan kemudian, ketika akan mengambil gaji, Rudi pun tersenyum. Betapa tidak, ternyata, selain gaji, ia juga mendapatkan transfer sebesar Rp7.500.000,-
Tidak cukup sekali, hampir satu tahun Rudi mendapatkan transfer sebesar itu. Karena sudah dirasa cukup, Rudi pun memutuskan untuk membeli rumah di tempat yang lebih memadai untuk perkembangan jiwani Andra, putra kesayangannya.
Ketika pada suatu hari bertemu dengan Bang Ali, Rudi baru tahu, kini, hidup dan kehidupan Nurdin telah berubah. Ia memiliki banyak truk pengangkut pasir.
“Yang aneh …” kata Bang Ali, “setiap truknya kecelakaan apalagi sampai memakan korban jiwa, ordernya makin bertambah,” lanjutnya lagi.
Rudi hanya dapat menarik napas panjang, hati kecilnya berbisik; “Koin berdarah itu akan terus memakan korban. Entah kapan akan berakhir.”
Pada kesempatan ini, Rudi pun berpesan kepada Bang Ali, “Tolong sampaikan ke Nurdin, terima kasih atas transfernya. Sekarang saya sudah pindah rumah, lebih baik, transfer untuk saya diberikan saja kepada siapa pun yang membutuhkan.”
Sejak itu, tidak ada lagi transfer yang masuk ke rekeningnya kecuali gaji. Namun, Rudi dapat hidup dengan tenang. Ia merasa, dirinya hanya sekadar perantara saja.