Keberanian dan taktik jitunya sehingga dalam beberapa kali berhasil merampas persenjataan pasukan Belanda yang diangkut kereta api yang melintas di Karawang, membuatnya mendapatkan julukan Begundal dari Karawang ….
Oleh: Surya Puja Nagara
Neomisteri – Sejarah mencatat dengan tinta emas, betapa, lelaki bertubuh kecil yang lahir pada 20 Oktober 1920 di Magetan, Jawa Timur, adalah target operasi yang harus ditangkap hidup atau mati oleh penjajah Belanda.
Betapa tidak, saat menjabat sebagai Komandan Kompi Batalyon I Sudarsono/Kompi Siliwangi yang pada masa itu lebih dikenal dengan sebutan Kompi Siliwangi Karawang-Bekasi, Lukas Kustaryo, selain memiliki keberanian dan kejeniusan dalam menghadapi musuh, ia juga terkenal sebagai sosok yang licin bak belut.
Lukas Kustaryo pun membuktikan kemampuannya dengan membajak rangkaian kereta api dari Karawang menuju Jakarta yang dipenuhi senjata dan amunisi bagi pasukan Belanda. Tak pelak, Belanda menjadi murka. Detik itu juga, Lukas Kustaryo menjadi target operasi mereka yang harus ditangkap baik hidup ataupun mati.
Tak cukup sampai di situ, pihak kolonial Belanda pun menjanjikan hadiah yang cukup besar bagi siapa pun yang bersedia memberitahu keberadaan Lukas.
Namun, Lukas bak hilang ditelan bumi.
Hingga 8 Desember 1947. Pihak Belanda mendapatkan informasi yang akurat, bahwa Kapten Lukas Kustaryo sedang berada di Desa Rawagede, Karawang.
Tanpa menunggu waktu, strategi pun mereka rancang. Tidak tanggung-tanggung, dalam operasi kali ini, di bawah pimpinan Mayor Alhons Wijnen, pihak Belanda menerjunkan 300 pasukan bersenjata lengkap termasuk, pasukan artileri dan kavaleri.
Tapi apa daya. Si lelaki bertubuh kecil itu ternyata mampu membaca strategi yang dirancang oleh lawannya. Jalan-jalan yang menuju ke Rawagede dipenuhi dengan pepohonan yang sengaja ditebang, bahkan, jembatan pun sengaja diputus. Tujuannya satu, untuk menghambat laju pasukan penjajah Belanda.
Penjajah Belanda yang kalap karena menghadapi medan yang cukup sulit itu langsung saja memerintahkan pasukan tank untuk bergerak maju dibantu dengan tembakan meriam dan kanon ke arah Rawagede. Sementara itu, pasukan infanteri yang bergerak maju berlindung di belakang tank.
Untuk kesekian kalinya Belanda harus gigit jari. Sosok Lukas Kustaryo yang mereka cari tak juga dapat diketemukan. Akhirnya, pada 9 Desember 1947, mereka mengumpulkan warga desa yang tersisa dan membantainya dengan tanpa ampun.
Dalam waktu yang demikian singkat, tercatat, 431 orang warga Rawagede bergelimpangan di sejumlah lokasi.
Alam seolah turut berduka. Hujan yang mengguyur membuat suasana kian terasa miris. Perempuan dan anak-anak, mengubur jasad para korban dengan peralatan seadanya. Tak ada yang bisa menepis, betapa pembantaian Rawagade dapat dikategorikan sebagai tindakan yang paling brutal yang dilakukan oleh pihak Belanda.
Yang paling menarik dari sosok Lukas Kustaryo adalah, bersamaan dengan ditariknya pasukan Belanda dari Indonesia, namanya juga langsung jarang disebut. Orang baru kembali tergugah manakala ia muncul ketika Monumen Pembantaian Rawagede didirikan.
Lukas Kustaryo adalah sosok pejuang yang hanya mementingkan Kemerdekaan Indonesia. Ia tak menuntut apapun. Kenyataan tersebut ia buktikan ketika Euis Nurjanah, perempuan asal Cianjur yang merupakan istri keduanya — atas desakan beberapa teman yang mengenalnya — meminta untuk memasang piagam dan tanda penghargaan ketimbang dilipat.
Euis pun mengerjakan saran itu. Namun apa yang terjadi, baru 2 (dua) hari melekat di dinding, bingkai itu langsung dipecahkan, bahkan, piagamnya disobek-sobek dan dibuang ke tempat sampah.
“Buat apa ini? Semuanya enggak ada artinya apa-apa buat aku”, demikian kata Lukas Kustaryo kala itu.
Waktu terus berlalu. Hingga pada akhirnya, gara-gara piagam dan tanda penghargaan yang dirobek dan dibuang, jenazah Lukas Kustaryo ditolak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa, Cipanas, Cianjur yang hanya memiliki daya tampung 58 (lima puluh delapan) makam, karena dianggap tidak memiliki bukti yang otentik sebagai pahlawan.
Beruntung, salah seorang sahabat, pernah menulis Riwayat Makam Pahlawan Rawagede yang terbit pada 1991 dapat dijadikan sebagai salah satu acuan — di samping mantan Kepala Desa Rawagede yang diambil sumpahnya atas kesaksian perjuangan di Desa Rawagede yang belakangan sudah berganti nama menjadi Desa Balongsari.
Akhirnya, lepas tengah malam, 9 Januari 1997, diputuskan, Lukas Kustaryo dimakamkan di TMP Kusuma Bangsa Cipanas, Cianjur.
Lukas Kustaryo telah tiada. Namun, perjuangannya yang tanpa pamrih itu sangat wajib kita teladani. Esa Hilang Dua Terbilang.
——————
Disarikan dari berbagai sumber terpilih