Penampilannya tidak menonjol, bertubuh kurus atau lebih tepatnya kerempeng, berkulit hitam dengan rambut agak keriting, membuat Ali benar-benar tidak pernah diperhitungkan oleh teman-temannya ….
oleh: Ipul Saipul
Neomisteri – Ali dan Hamdan adalah dua sahabat yang seolah tak terpisahkan. Betapa tidak, sejak SMP bahkan sampai perguruan tinggi dan bekerja, keduanya selalu bersama. Ternyata tak berhenti sampai di situ, lepas menikah, keduanya bahkan juga tinggal di salah satu perumahan yang sama.
Kebanyakan yang mengenal, mengatakan; keduanya macam saudara kembar, padahal Ali berkulit hitam, sementara Hamdan berkulit kuning langsat. Wajar, hal itu disebabkan jika ada Ali pasti ada Hamdan, dan begitu sebaliknya.
Perbedaan yang mencolok di antara keduanya adalah masalah tenaga. Hamdan yang dikenal sebagai pebasket andal sejak di sekolah sampai kampus, akan selalu menyerah kalah terhadap Ali yang gemar bulu tangkis. Ali bisa bermain sampai lima set penuh tanpa terengah-engah. Bahkan masih tetap fokus jika diajak bermain lagi oleh siapa pun.
Sehingga tak heran, banyak teman menjuluki Ali sebagai manusia yang tak pernah mengenal kata lelah ….
Ketika hal itu ditanyakan secara pribadi kepada Ali, biasanya, ia hanya menjawab sekenanya; “Makanya, latihan yang benar, fokus dan terstruktur.”
Mendengar jawaban itu, semua teman-temannya pun hanya bisa tersenyum kecut. Tapi mereka sadar, itulah Ali. Selalu mampu menghindar dalam keadaan sesulit apapun.
Berbeda jika hal tersebut ditanyakan kepada Hamdan, sahabatnya. “Ali pasti menghindar. Kita semua maklum, sebagai anak perantau, ia pasti punya sesuatu,” jawabnya dengan tegas.
“Maksudnya?” Desak yang lain.
“Biasalah, mantra atau doa dari para leluhurnya. Buktinya, waktu SMK ia mampu mengangkat mobil yang terperosok ke dalam got tanpa dibantu oleh siapa pun,” lanjutnya sambil menceritakan peristiwa yang terjadi beberapa tahun lalu ketika keduanya masih duduk di bangku SMK.
Mendengar kata-kata Hamdan, akhirnya, semua temannya pun menjadi maklum.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, pada suatu ketika, tepatnya Februari 1997, cuaca begitu ekstrim. Hujan yang turun dengan demikian lebat ditambah tiupan angin kencang membuat semua orang menjadi was-was. Suasana pun kian mencekam. Maklum, hari itu jatuh pada Kamis. Kebanyakan orang meyakini, jika hujan tidak berhenti, bakal berkepanjangan sampai keesokan harinya, Jumat.
Hari itu, Hamdan dan Ali sengaja menitipkan mobilnya di kantor dan keduanya meminjam motor security kantor yang tengah piket. Maklum, istri keduanya baru saja menelepon luapan air telah menggenangi jalan di depan rumah mereka. Dengan penuh kehati-hatian, Hamdan menerobos lebatnya hujan.
Menjelang rumahnya, Hamdan tampak kesal. Betapa tidak, mobil dan motor mengular memenuhi jalan sehingga tak ada celah barang sedikit pun. Ali menepuk bahu Hamdan sambil berkata; “Gua turun di sini mau lihat keadaan.”
Dengan lincah, Ali berjalan menerobos kemacetan. Ternyata, pohon angsana yang tumbuh di dekat kios bakso dan es kelapa muda langganannya yang berukuran sebesar dua pelukan orang dewasa dengan ranting yang subur roboh akibat terpaan angin. Ali melihat, beberapa orang tengah berusaha memangkas ranting pohon itu dengan peralatan seadanya. Bergegas Ali menuju ke kios bakso sambil berkata; “Bos … pinjam golok dong.”
Sang pemilik yang mengenalnya segera mengangsurkan sebilah parang sambil berkata; “Hati-hati, tajam.”
Ali hanya mengangguk. Dan tak lama kemudian, dengan lincah ia menebas ranting-rantingnya dan menyingkirkannya ke pinggir jalan. Kelincahan Ali dalam menebas dan menetak batang pohon kemudian menyingkirkannya ke pinggir jalan, ternyata menjadi tontonan. Bahkan, mereka yang semula menebas ranting-ranting pohon yang roboh itu turut menonton dengan perasaan takjub.
Ali tak sadar dengan keadaan itu. Tekadnya hanya satu, menyingkirkan batang pohon itu agar kemacetan segera terurai. Dalam waktu dua jam, akhirnya batang pohon itu dapat dipotong. Ali segera mendorong potongan batang pohon itu ke pinggir jalan dan mengatur kendaraan agar tidak saling berebut. Bersamaan dengan terurainya kemacetan, mobil Dinas Pertamanan Pemda pun tiba di lokasi. Mereka hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala tanda rasa kagum.
Hamdan yang mengetahui keadaan itu langsung bertanya kepada Ali; “Eits… Bukan maen. Kok bisa ya?”
“Gua kan dari kampung. Motong dan mindahin batang pohon udah jadi kerjaan sehari-hari,” kilah Ali menghindar.
Setelah didesak, akhirnya Ali pun mengaku; “Iya… Ini semua berkat mantra penguat badan warisan leluhur. Waktu ngamalin, gua puasa enggak makan yang berjiwa selama empat puluh satu hari empat puluh satu malam.”
“Terus, setiap selesai mendirikan salat fardu, mantra dibaca sebanyak sebelas kali sambil tahan napas. Selanjutnya, jika kepepet, cukup baca tiga kali sambil tahan napas,” tambahnya.
“Adapun mantranya adalah;
kencang kelemiang,
kelembatang tige biji,
kencang daripada tiang,
keras daripada besi,
bangun la besi rosani la badanku,
berkat doaku lailahaillallahmuhammadarrasulullah.
Hamdan pun mencatatnya dengan saksama. Dan Ali pun mengikhlaskan kepada siapa pun yang ingin mengamalkannya asal untuk kebaikan.