Di usianya yang telah menginjak kepala lima, tapi, semua orang yang mengenalnya melihat Nurdin selalu saja sehat dan ceria walau tanpa pendamping ….
oleh: Trihardo
Neomisteri – Siapa pun tak pernah menyangka, Bang Nurdin (53 tahun) demikian ia disapa oleh banyak orang yang mengenalnya — adalah sosok yang santun, sabar dan ceria — serta begitu dekat dengan anak-anak. Oleh karena itu, rumahnya yang besar serta berada tepat di depan lapangan yang menjadi fasum (fasilitas umum-red) di perumahan itu selalu ramai dengan suara dan celoteh anak-anak.
Biasanya, usai bermain-main di lapangan, anak-anak pasti menyerbu rumah Bang Nurdin untuk meminta segelas air dingin dan beberapa camilan yang selalu tersedia di meja makan. Walau tinggal sendiri, namun, Bang Nurdin tak merasa dirugikan atau repot — ia bahkan senang jika anak-anak selalu bermain atau singgah di rumahnya selepas bermain.
Jika sudah begitu, maka, para bapak dan ibu yang tinggal di komplek itu hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala saja melihat ulah anak-anaknya. “Kasihan Bang Nurdin …”, hanya itu yang bisa mereka keluhkan.
Baca: Glasgow Smile, Metode Penyiksaan Sadis Inspirasi Wajah Seram Joker
Ketika mereka mengingatkan Bang Nurdin untuk tidak terlalu memanjakan anak-anaknya, lelaki paruh baya yang sampai sekarang masih membujang itu hanya berkata sambil tersenyum; “Biarkan mereka menikmati indahnya kehidupan …”.
“Lalu … kapan Bang Nurdin menyusul?” Potongku sambil bercanda.
Bang Nurdin hanya tersenyum simpul. Tak ada sedikitpun gurat ketersinggungan di wajahnya. Inilah yang membuat banyak orang jadi bertanya-tanya; “Apakah Nurdin yang alim, santun, ceria dan menyayangi anak-anak itu punya kelainan?”
Tak ada satupun dari warga komplek yang mampu menjawabnya. Semua menanti jawaban yang pasti dari mulutku yang sejak awal kenal memang sudah dianggap sebagai sahabat terdekat dengan Bang Nurdin — apalagi, rumah kami bersebelahan dan dapat dipastikan hampir tiap malam aku dan Bang Nurdin selalu meluangkan waktu walau hanya sejenak untuk berbincang di beranda rumahnya sambil minum kopi atau teh ….
Malam itu, tak seperti biasanya Bang Nurdin tampak agak gelisah. Maklum, sejak mulai duduk, ia selalu aku bombardir dengan pertanyaan kenapa tak juga menikah. Setelah beberapa kali meneguk kopi dan menghisap rokoknya dalam-dalam, akhirnya Bang Nurdin pun berkata; “Sebenarnya aku malas untuk menceritakannya. Apalagi, peristiwa ini sudah terjadi puluhan tahun silam”.
“Maksud Abang?” Desakku.
Bang Nurdin pun menceritakan pengalamannya. Saat itu, ia baru berusia sekitar dua puluh tahun yang setiap harinya diisi dengan membantu orang tua ke ladang serta membersihkan dan mengajarkan mengaji anak-anak kampungnya di masjid. Ya … sejak dulu, walau merupakan anak semata wayang namun ia memang dikenal sebagai anak yang saleh, santun dan penurut. Oleh karena itu, diam-diam, banyak yang berkeinginan untuk menjadikannya sebagai menantu. Tapi entah kenapa, ia selalu menolaknya dengan halus dan berkata; “Saya masih ingin menuntut ilmu agama yang lebih tinggi lagi di Pulau Jawa”.
Baca: Alasan Medis di Balik Keanehan Pendaki yang Tewas di Gunung Lawu
Sejak kecil, Nurdin memang bercita-cita untuk menjadi guru agama bagi anak-anak di kampungnya. Tujuannya selain memakmurkan masjid, ia juga berharap agar anak-anak nantinya memiliki bekal agama yang kuat di dalam menjalani hidup dan kehidupan yang semakin lama menjadi semakin keras. Tapi apa daya, hasil ladang ayahnya belakangan terus saja menurun, menurun bahkan merosot — sehingga tabungan pun terpaksa dikuras — akibatnya, niat Nurdin untuk belajar ilmu agama di Tanah Jawa pun terpaksa ditunda.
Nurdin tak pernah menyesal, ia yakin, Allah pasti mempunyai rencana lain untuk dirinya ….
Hingga pada suatu hari, sekembalinya dari ladang, ia melihat di depannya tampak lelaki tua sedang berjalan tertatih-tatih sambil memanggul seikat kayu bakar. Lelaki tua itu tampak kelelahan. Tanpa membuang waktu, Nurdin langsung mendekati sambil uluk salam; “Assalamualaikum Kakek. Mari saya bantu …”.
“Waalaikumssalam”, jawab si kakek sambil meletakkan kayu bakar yang dipanggulnya ke tanah.
Nurdin langsung mengangkat kayu bakar sambil mempersilakan sang kakek berjalan di depannya. “Saya jadi merepotkanmu anak muda”, ujar sang kakek.
“Tidak apa Kek”, jawab Nurdin.
“Rasanya, sungguh beruntung jika ada gadis yang bersedia menjadi istrimu anak muda. Menguasai ilmu agama, santun, kuat, dan pekerja keras”, kata sang kakek.
“Kakek terlalu memuji”, kata Nurdin, “saya jadi malu. Apalagi, ilmu agama saya masih sangat rendah”, sambungnya lagi.
Entah sudah berapa lama keduanya berjalan. Nurdin hanya ingat, ia berjalan mengikuti sang kakek hingga sampai didekat pohon beringin tua angker yang ada di pinggiran kampungnya. Belum lagi ia sadar, tiba-tiba, semua yang ada di depannya berubah!
Ya … ia merasa sedang berada di tengah-tengah kesibukan kota yang sibuk dan luar biasa indahnya. Walau begitu, semuanya serba tertata dengan apik dan sangat tertib. Sang kakek mengisyaratkan agar ia menurunkan kayu bakar yang dipanggulnya. Tak lama kemudian, berhenti sebuah mobil mewah yang selama ini ia hanya melihatnya di TV — sang pengemudi langsung turun dan memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya sambil membukakan pintu mobil. Setelah sang kakek dan Nurdin masuk, sang sopir pun masuk setelah sebelumnya ia memasukkan kayu bakar yang tadi dibawa Nurdin ke dalam bagasi.
Baca: Mengungkap Misteri Proyeksi Astral atau Meraga Sukma
Singkat kata, sesampainya di rumah sang kakek, Nurdin disambut dengan hangat oleh semua yang ada di sana. Suasana yang hangat membuat Nurdin menjadi kerasan. Sesaat ia dapat melupakan ayah dan ibu bahkan murid-muridnya yang menunggu dengan sabar untuk belajar mengaji.
Usai mendirikan salat Subuh, sang kakek pun mengutarakan apa yang selama ini dirasakannya kepada Nurdin — ternyata, sudah cukup lama keluarga ini memperhatikan keseharian Nurdin sehingga mereka memutuskan untuk menjodohkan salah satu keluarganya, tepatnya, cucu bungsu si kakek yang bernama Siti Halimah kepadanya. Nurdin mendengarkan dengan tekun, ketika sang kakek bertanya, “Bersediakah engkau menikah dengan cucuku?”
Nurdin pun mengangguk dan meminta syarat agar ia tetap dapat hidup bersama-sama dengan keluarga dan para anak yang selama ini belajar mengaji dengannya. Tanpa menunggu waktu lama, maklum, sang kakek tergolong sosok yang disegani dan berpengaruh, pernikahan keduanya pun berlangsung. Pesta meriah pun digelar … .
Pada hari ketiga, Nurdin minta izin kepada sang kakek dan istrinya uintuk kembali ke kehidupan nyata. Setelah memberikan petunjuk tentang tata cara berhubungan dengan istri dan sang kakek, Nurdin pun berjalan meninggalkan keluarga barunya.
Ia tersadar tepat di tengah-tengah ladang milik sang ayah. Seperti biasa, ia pun menyiangi rumput agar tanaman menjadi subur. Dan menjelang tengah hari, ia kembali ke rumah untuk beriustirahat dan mendirikan salat Zuhur, kemudian kembali ke ladang dan pulang untuk salat Asar, kemudian mengajar mengaji sambil menanti salat Magrib dan Isya — tak ada yang berubah.
Setelah ayah dan ibunya meninggal dunia dan Nurdin belum juga beristri, bisik-bisik tetangga yang menyatakan dirinya mempunyai kelainan seksual kian santer. Karena tak tahan, akhirnya, Nurdin pun memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, dan ia memutuskan untuk tinggal di rumah yang sekarang ditempatinya. Ia hidup bahagia dengan istri dan dua anaknya yang selalu datang bersamaan dengan gelapnya malam. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan sesekali menarik napas panjang, sungguh tak disangka, ternyata, Bang Nurdin memiliki keluarga dari alam lain.
Di tempatnya yang baru, para tetangga hanya tahu jika Nurdin adalah salah seorang yang berada karena memiliki kebun yang amat luas di Kalimantan.