asd

Naik Haji Berkat Ucapkan Salam

Di tengah-tengah pembicaraan, orang itu berkata. “Saya juga melihat Ki Salam di sana, ia sedang khusyuk duduk di sudut masjid Nabawi, jadi saya tidak enak menegurnya, memangnya ia dapat uang dari mana ya, sampai bisa pergi haji? Padahal pergi haji memerlukan biaya yang cukup besar.”

 

 

Neomisteri – Hari itu masih putih, pagi masih menunjukan sisa-sisa embunnya, menempel pada setiap daun-daun tumbuhan, sampai pos kamling yang berada di antara dua pohon besar itu. Sawah-sawah masih sedikit tertutup kabut yang perlahan melangkah pergi.

Penduduk desa Cibeuning sudah mulai menyentuh aktivitasnya, kemudian tenggelam dalam kesibukannya masing-masing, ada yang sibuk membuka warung, pergi berdagang, dan lebih banyak lagi yang pergi ke sawah. Beberapa orang masih terlihat ramai berlalu lalang di sekitar desa itu.

Kemudian, “Assalamu‘alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.” Dan seterusnya.

Hampir seluruh penduduk desa mengenal siapa Ki Salam, lelaki yang berumur hampir enam puluh tahun yang selalu berwajah seri dan selalu mengucapkan salam setiap kali bertemu orang yang dihampirinya, sambil berjabatan tangan dengan erat atau hanya mengangkat tangannya sejajar dengan dahinya seperti seseorang yang sedang menghormati bendera ketika upacara. Karena itulah ia dikenal dengan nama Ki Salam.

Penduduk desa sangat senang jika bertemu dengan Ki Salam, karena ketika ia mengucap salam, terasa seperti menitipkan semangat yang tinggi kepada orang yang ditemuinya, dan sudah tentu mendoakan keselamatan bagi orang tersebut.

H. Izzudin, salah seorang tokoh masyarakat di desa itu pun sangat senang jika rumahnya didatangi oleh Ki Salam, walaupun hanya sekedar bersenda gurau sebentar atau hanya mengucap salam.
Pernah suatu kali H. Izzudin menanyakan satu hal kepada Ki Salam.
“Ki, kenapa ucapan salammu itu seperti menyimpan semacam semangat atau memberikan semangat bagi orang yang mendengarnya.” Tanya H. Izzudin.

“Pada hakekatnya, bukankah salam baik, mendoakan keselamatan bagi orang lain, dan bukankah mereka juga akan membalas salam kepada kita yang berarti mendoakan kita juga. Karena dasar itulah kita memang harus bersungguh-sungguh mengucapkan sebuah doa atau salam itu.” Jawab Ki Salam.

Kemudian mereka pun kembali berbaur dalam pembicaraannya, dan sesekali mereka tertawa kecil. Ki Salam memang sering berkunjung ke rumah H. Izzudin – sebagai tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama di desa itu – karena Ki Salam masih merasa memerlukan banyak nasehat-nasehat dari tokoh-tokoh agama masyarakat seperti H. Izzudin.

Suatu hari, penduduk desa bersiap-siap untuk menyambut datangnya hari raya Idhul Adha atau disebut juga lebaran haji. Para penduduk sibuk mengumpulkan hewan kurban untuk hari raya nanti, baik untuk dijual atau disedekahkan untuk fakir miskin, ada juga warga yang hendak melaksanakan ibadah haji di tanah suci, Mekah.

Desa Cibeuning bisa dikatakan masih sangat kuat kultur budaya dan agamanya. H. Izzudin juga ikut mengatur dan menampung hewan-hewan qurban di halaman belakang masjid Baitul Jannah untuk disedekahkan. Namun, desa itu seperti tidak terlihat ramai, penduduk desa merasa seperti melupakan sesuatu di desanya.

Oh, ternyata hari-hari menjelang hari raya itu, Ki Salam tidak pernah terlihat. Biasanya pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke sawah. Dan malamnya ia lama berada di masjid setelah shalat isya. Para penduduk sangat heran dan khawatir terhadap Ki Salam, tak terasa sudah satu minggu Ki Salam tidak terlihat.

Baca: Kiai Bambu Runcing

H. Izzudin juga merasa kehilangan temannya itu. Ia justru telah mendatangi rumah Ki Salam yang berada tidak jauh dari rumahnya. namun, rumahnya itu sepi dan kosong, hanya sajadah yang masih terbentang di sudut kamarnya yang hanya beralas tikar rotan tipis yang sudah mulai rusak. Ki Salam memang hanya hidup seorang diri setelah istrinya meninggal beberapa tahun lalu.

Hari raya pun tiba, takbir kembali menggema di seluruh jagat raya menyambut hari raya Idul Adha. Beberapa ekor hewan ternak seperti kambing, sapi, dan kerbau telah siap disembelih di halaman masjid Baitul Jannah. H. Izzudin, orang yang biasa diberi kepercayaan untuk menyembelih hewan-hewan qurban itu sudah mulai bersiap-siap sambil melihat golok yang diberikan oleh salah satu penduduk desa.

H. Izzudin ingin memastikan kalau golok untuk menyembelih itu sangat tajam agar tidak menyiksa hewan qurban yang disembelih itu, hal itu ia pelajari dari pondok pesantrennya dulu.

Hari raya kedua umat Islam itu, dirayakan dengan menyembelih hewan ternak seperti kambing, sapi, dan kerbau. Tradisi itu diambil sebagai cermin dari sejarah Nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Tuhan untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail sebagai ujian kesetiannya sebagai hamba Allah.

Idul Adha telah berlalu, hari pun melangkah menuju minggu, tapi Ki Salam belum juga muncul di tengah-tengah pertanyaan penduduk desa yang merindukan suara salamnya. Beberapa penduduk desa sering menanyakan tentang Ki Salam yang hilang begitu saja kepada H. Izzudin, tapi H. Izzudin hanya menjawab

“Mungkin ia sedang berkunjung ke rumah saudaranya di desa lain Pandeglang ini untuk merayakan hari raya bersama saudaranya yang masih ada.” Jawab H. Izzudin. Jawaban itu diberikan untuk mencegah penduduk agar tidak berpikir sesuatu yang buruk yang terjadi dengan Ki salam.

Baca: Ketika Syeikh Kholil Bangkalan Bikin Belanda Kebingungan

Dan suatu hari, salah satu penduduk desa yang melaksanakan ibadah haji di Mekah telah kembali ke desa itu. H. Izzudin dan penduduk desa pun ramai menyambut kedatangan orang yang telah selesai menunaikan ibadah haji dengan selamat itu. Ketika malam hari rumah itu pun masih ramai oleh penduduk desa yang ingin mendengarkan cerita-cerita dari tanah suci Mekah. Orang itu bercerita tentang suasana Idul Adha di Mekah yang lebih ramai dari desanya.

Di tengah-tengah pembicaraan, orang itu berkata. “Saya juga melihat Ki Salam di sana, ia sedang khusyuk duduk di sudut masjid Nabawi, jadi saya tidak enak menegurnya, memangnya ia dapat uang dari mana ya, sampai bisa pergi haji? Padahal pergi haji memerlukan biaya yang cukup besar.” Orang itu berkata dan bertanya kepada para para penduduk yang hadir di rumahnya itu, terrmasuk H. Izzudin.

H. Izzudin dan para penduduk yang lain hanya diam dan haru setelah mendengar kata-kata orang itu. “Uang bukanlah hal yang terlalu penting baginya untuk mencapai keinginannya untuk pergi haji, tapi itu adalah Karomah yang diberikan oleh Allah kepadanya karena selalu mendoakan orang lain, yaitu dengan salam, hanya dengan salam.” H. Izzudin berkata di antara para penduduk yang masih bisu di antara kekaguman dan haru.

(Seperti diceritakan oleh Khoirul – Pandeglang)

artikel terkait

3 COMMENTS

  1. Itu adalah org sholeh yg sdh dkt dgn Alloh SWT,jd sdh diberi fasilitas olehNya.bukan haji saja mugkin setiap jumatan beliau di Makkah,hny sj org sekmpung tdk ada yg disana jd tdk tahu.Maha bsr Alloh azza wajalla.

  2. HEHEHEH….PADAHAL MUNGKIN KI SALAMNYA SUDAH WASSALAM…..DULU MUSIM HAJI THN.1986 ALMARHUM PAMAN SAYA YG TINGGAL DI JLN.MAYJEN.SUTOYO, DESA KRAPYAK-SRAGEN ADA JUGA YG BEGINI, PDHL BELIAU TETAP SAJA ADA DIRUMAH- BERIBADAH TANPA HENTI. ALLAHUAKBAR…..

Apa komentarmu?

Artikel Terbaru

ARTIKEL MENARIK LAINNYA

4 Pembunuh Berantai Tersadis di Korea Selatan

“Semua orang bereaksi berbeda dalam suatu situasi. 'Monster' lahir ketika faktor genetik seseorang bertemu dengan lingkungan yang buruk,” kata Kwon. "Pembunuh berantai akan memiliki...

Misteri Tol Jombang Lokasi Kecelakaan Maut Vanessa Angel

Menurut informasi, ruas jalan tol itu memang sejak lama terkenal angker. Beberapa orang mengatakan lokasi tempat kecelakaan tersebut, sering terjadi penampakan kuntilanak dan pocong...

Artikel Terpopuler