Malam itu, beruntung, berkat kekuatan Hizib Maghrobi, siluman kelelawar pencabut nyawa yang terus merangsek dan menyerang dirinya dengan patukan dan cakaran kakinya yang tajam itu tidak pernah berhasil mengenai dirinya ….
oleh: Taufik Firdaus
Neomisteri – Akibat gagal panen serta serangan hama yang seolah tak berkesudahan, Gimin (25 tahun) demikian sapaan akrab sahabat neomisteri pun nekat mengadu nasib di belantara Jakarta. Ia berjanji kepada istri dan anaknya, bila sudah dapat tempat tinggal dan pekerjaan tetap, maka, Gimin akan kembali ke kampung halamannya untuk menjemput keduanya.
Beruntung, salah seorang kenalannya, Bang Udin, memberitahu bahwa di sekitar tempat ia tinggal ada beberapa rumah kontrakan yang kosong. “Di sini hawanye masih bagas. Banyak pohonan dah begitu tetangganya juga enak-enak orangnya”, katanya kepada Gimin dalam dialek Betawi yang kental.
Baca: Pelet Darah Perawan
Ketika melihat keadaan rumah yang bakal ditinggalinya, mulanya Gimin agak gamang. Betapa tidak, dari jauh, ia merasakan seolah ada hal-hal yang aneh terhadap rumah dan lingkungan sekitarnya — deretan rumah itu ada di belakang tembok tinggi dengan luas jalan sekitar 1,5 meter dan berdampingan dengan tanah kosong lumayan lebar yang ditumbuhi pohon sawo besar dengan buah yang cukup lebat.
Tampaknya, delapan rumah kontrakan itu sengaja dibuat untuk menjaga bagian belakang rumah besar berpagar tembok tinggi yang konon milik salah seorang pengusaha yang bergerak di bidang perminyakan.
Melihat kedatangan Gimin dan Bang Udin, mereka pun sontak keluar dan memperkenalkan diri masing-masing. Gimin langsung saja tersentuh. Karena itu, ia langsung memutuskan untuk tinggalk di tempat itu. Setelah membereskan segala sesuatu dan lapor kepada RT setempat, ia pun langsung membeli sekadar kasur untuk tidur, sementara, Bang Udin meminjamkan beberapa peralatan untuk kebutuhan sehari-hari.
Baca: Dendam Seorang Istri
Secara kebetulan pula, Pak RT sedang membutuhkan sopir untuk angkot. Hati Gimin merasa bungah, ia merasakan, Allah memberikan pertolongan dan jawaban langsung atas segala kesulitannya. Malam itu juga, dengan dipandu oleh Pak RT, Gimin diperkenalkan dengan beberapa pengemudi lain yang kala itu masih duduk-duduk di pangkalan sambil minum kopi, kemudian, ia bersama Pak RT mencoba route yang besok bakal dilaluinya. Dan setelah dirasa cukup, mereka pun langsung pulang dan Gimin pun tidur di rumah kontrakannya.
Tepat pukul 03.20 usai mendirikan Salat Tahajud, ia menuju ke rumah Pak RT untuk mengambil mobil dan langsung ke Pasar Induk Kramatjati untuk mencari penumpang yang kebanyakan pedagang sayur mayur. Tak lama kemudian, setelah memberikan sejumlah uang pada kenek yang mencarikan penumpang, Gimin melajukan kendaraannya ke arah Depok. Selepas itu, ia singgah ke sebuah musala yang ada di tepi jalan untuk mendirikan Salat Subuh ….
Berbeda dengan yang lain, saat istirahat atau sedang menunggu penumpang, Gimin lebih banyak menghabiskan waktu untuk membersihkan mobilnya. Agaknya, selain bersih dan cara membawa yang tidak ugal-ugalan membuat dalam singkat Gimin punya banyak pelanggan — mobil yang terawat dan bersih serta setoran yang cukup, membuat Pak RT selalu pemilik angkot juga menyayanginya.
Baca: Derita Pengabdi Pesugihan
Menginjak bulan kedua, setelah memiliki peralatan rumah tangga yang dirasa cukup, Gimin izin beberapa hari untuk menjemput istri dan anaknya di kampung.
Manakala telah berkumpul dengan keluarganya, gangguan yang sifatnya gaib pun mulai dirasakan oleh Gimin maupun istrinya Sri. Maklum, hampir empat malam, Bagas (3,5 tahun) sang anak kesayangan terus saja menangis sambil menatap pintu dengan penuh ketakutan. Akibatnya sudah dapat kita duga, Gimin dan Sri mulai panik. Pelbagai upaya bahkan obat dokter telah diberikan, namun, tiap menjelang magrib sampai menjelang pagi, Bagas terus saja menangis.
Hingga akhirnya, di tengah-tengah keputusasaan, tiba-tiba, Gimin seolah melihat kelebatnya bayangan Mbah Bajuri. Kakek sekaligus guru mengajinya di kampung. Sontak, Gimin pun teringat dengan pesan Mbah Bajuri; “Sengaja aku ijazahkan Hizib Maghrobi, siapa tahu bermanfaat. Yang penting, jangan tinggalkan salat, zakat pendapatanmu tiap hari dan berlaku santun kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Insya Allah, di manapun, kamu bakal selamat dan disayang orang”.
Tanpa menunggu lama, Gimin langsung menyerahkan Bagas kepada istrinya. “Tolong gendong sebentar, aku mau salat sunah dan zikir”, katanya sambil menyerahkan putra kesayangannya kepada istrinya.
Baca: Kisah Gaib Supir Ambulans
Tak sampai tujuh menit, kini, di ruang tamu, tampak Gimin dengan khusyuk mengamalkan Hizib Maghrobi — entah berapa lama ia tenggelam dalam ke-khusyuk-kan — mendadak, dari luar terdengar benda menabrak pintu dan jeritan kelelawar yang marah. Benturan itu berulangkali terjadi … hingga akhirnya, pintu pun hancur dan kelewar besar itu berhasil masuk.
Hancurnya daun pintu yang menimbulkan suara kjeras membuat para tetangga terbangun dan berkerumun di depan rumah Gimin. Tak ada yang berani masuk. Mereka hanya melihat Sri memeluk Bagas di sudut ruang tamu dengan ketakutan yang teramat sangat, sementara, Gimin tetap duduk dengan tenang walau diserang habis-habisan oleh seekor kelelawar besar. Patukan dan cakaran kelelawar itu seolah terhalang oleh suatu kekuatan yang tak kasat mata.
Karena terus-terusan diserang bahkan mulai mengancam keselamatan jiwanya, kesabaran Gimin pun habis. Bersamaan dengan patukan yang mengarah ke kepalanya, Gimin pun menyabetkan tasbih yang sejak tadi dipakainya tepat mengenai badan kelelawar. Binatang malam itu langsung jatuh dan perlahan-lahan berubah menjadi asap hitam kemudian hilang tersapu angin.
Bersamaan dengan itu, dari rumah besar di balik tembok, terdengar teriakan histeris dari seluruh penunggu rumah yang sejak tadi menunggui sang ayah yang mendadak jatuh dari kamar mandi, memuntahkan darah segar dan meregang nyawa dengan tubuh berwarna kehitaman.
Baca: Tuyul Alas Kucur
Seisi rumah berpendapat bahwa almarhum memang sejak lama mengidap sakit jantung yang akut. Namun, Ketua RT dan beberapa orang yang mafhum akan hal gaib hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja. Mereka tak pernah menyangka, jika orang yang sangat dihormati karena kedermawanannya ternyata pemuja setan.
Selepas takziah, Pak RT pun berkata; “Untung Mas Min mampu, kalo enggak … eh, ana juga baru inget, udah tiga orang yang ngontrak di rumah yang sekarang Mas Min tempatin semuanya enggak kuat. Yang dua mati karena kecelakaan, yang satu sakit diare”, lanjutnya dengan perasaan geram tapi tak mampu berbuat apa-apa.
“Itu semua karena Allah”, jawabnya datar, “semua karena Allah”, lanjutnya lagi sambil berjalan pulang.