Berbeda dengan pasar-pasar yang lain, di sini tak hanya bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi, namun, ada yang lebih menarik lagi untuk diketahui ….
oleh: Tim Redaksi
Neomisteri – Mungkin jarang yang tahu, menurut tutur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, sejak penjajahan Jepang, pedagang di pasar yang satu ini acap kehilangan uangnya. Oleh sebab itu jangan heran jika Pasar Gentongan yang terletak di Dusun Gentongan, Desa Gemblegan, Kecamatan Kalikotes, Klaten, Jawa Tengah juga menyandang nama sebagai Pasar Tuyul.
Namun jangan heran, walau sejak dulu Pasar Gentongan juga dikenal sebagai Pasar Tuyul, namun, sampai sekarang pasar tersebut tetap saja ramai dikunjungi oleh penduduk sekitar untuk melakukan transaksi jual beli — maklum, lokasinya demikian strategis karena terletak di tepi jalan raya serta berada di tengah-tengah pemukiman penduduk, maka, tak ada kesan mistik apalagi horor yang menyungkupi pasar tersebut.
Kali ini, neomisteri berkesempatan datang untuk sekadar melakukan investigasi sekalian mengunjungi seorang sahabat lama, Aryo Wibowo.
Lewat bantuannya kami dapat melakukan investigasi dengan agak leluasa. Menurut Mbah Iro (67 tahun) lelaki tua yang tengah melepaskan penat di warung kopi menyatakan, “Dulu … jaman saya kecil, pasar itu masih merupakan lapangan atau tanah kosong yang dikelilingi oleh tanaman pandan berduri”.
“Ya …”, timpal Mas Kusno, lelaki yang tinggalnya di sebelah selatan Pasar Gentongan, “tapi Mas, cerita bapak dan ibu saya, dari dulu daerah sini memang angker. Bukan genderuwo, banaspati, atau yang menakutkan. Tapi tuyul”, lanjutnya sambil memesan segelas kopi.
Perbincangan pun semakin hangat. Neomisteri ditemani oleh Mas Bowo, mendengarkan langsung celoteh Mbah Iro yang lahir dan besar di sebelah selatan pasar serta Mas Kusno dan Mas Sukimin yang sama-sama dilahirkan di sebelah barat Pasar gentongan.
“Apakah pernah diupayakan untuk menangkalnya?” Pancing neomisteri.
“Bosen”, sungut Mbah Iro, “sudah sering, tapi tidak pernah ada yang berhasil”, tambahnya.
“Biasanya hanya beberapa hari tenang, sudah itu, kehilangan lagi”, tambah Mas Sukimin.
”Yang paling menjengkelkan, pernah ada suatu kejadian, seseorang pembeli sedang memegang uang untuk membayar, tapi apa daya, mendadak uang yang dipegangnya raib”, ungkap Mas Kusno, “saya dengaar cerita itu dari bapak dan simbok”, sambungnya dengan penuh semangat.
Mbah Iro hanya berdehem kemudian menambahkan, “Itu waktu jaman Jepang”.
“Kelihatannya, Pasar Gentongan memang merupakan pusat atau bisa juga disebut sebagai Kerajaan Tuyul. Sebab, tidak ada yang memeliharanya. Buktinya, beberapa kali ditangkap orang pinter, mereka tidak pernah menjawab siapa yang memelihara”, papar Mbah Iro panjang lebar.
“Bisa jadi Mbah”, tambah Mas Kusno, “kira-kira sebulan lalu, pas malam Jumat Kliwon dan bulan purnama ada seseorang yang berjalan mengelilingi Pasar Gentongan. Ketika ditanya, jawabannya mau menangkap tuyul”, ungkapnya lagi.
“Oh … bisa jadi, sebab tuyul yang ada di sini liar. Jadi siapa pun bisa menangkap dan memberdayakan bahkan mengusir bila sudah tidak diperlukan lagi”, timpal Mas Sukimin.
“Lalu, apa yang dilakukan para pedagang untuk menangkalnya?” Potong neomisteri penasaran.
“Semua berusaha dengan caranya masing-masing. Ada yang meletakkan cermin di kotak uang, ada pula yang menggulung uangnya dengan karet gelang bahkan ada pula yang meminta penangkal dari orang”, jawab Mbah Iro pasti.
Akhirnya waktu jua yang memisahkan neomisteri dengan Pasar Gentongan atau Pasar Tuyul yang ada di bilangan Klaten, Jawa Tengah.