Penghuni Gaib Tanah Kosong

Tak ada yang aneh, pasalnya, sejak dahulu, tanah kosong di samping masjid di komplek perumahan itu selalu digunakan anak-anak untuk bermain ….
Oleh: Tim Redaksi

 

Neomisteri – Belakangan, entah siapa yang memulai, tanah kosong yang mulanya acap dipakai oleh anak-anak untuk bermain sepak bola, layang-layang, atau berlari-larian kini mulai dipenuhi dengan sampah. Paman Ruri, demikian sapaan marbot masjid hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Entah sudah berapa puluh kali ia membuat plang bertuliskan; DILARANG BUANG SAMPAH DI SINI … tak dihiraukan sama sekali.

Alhasil,tiap menjelang waktu Asar,  dengan ditemani beberapa orang anak yang sudah agak besar, di antaranya Andi, Saad dan Mahmud, Paman Ruri selalu mengumpulkan sampah kemudian membakarnya di lubang yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

“Nah … sekarang kalian bisa bermain bola dengan tenang”, katanya sambil tersenyum.

“Ya … Paman, nanti kalau asapnya tinggal sedikit”, sahut Mahmud.

Sayangnya, walau, mungkin si pembuang sampah melihat apa yang dilakukan oleh Ruri dan anak-anak setiap hari, alih-alih berkurang, sampah bahkan menjadi kian banyak. Inilah yang membuat kenapa Ruri kadang menyumpah; “Bukan maen, entar baru pada kapok kalo nyang tunggu ngasih liat ujudnya”.

“Maksud Paman?” Tanya Saad cepat.

“Nanti juga tau”, sahut Paman Ruri dengan singkat.

“Oh … aku ingat Paman”, celoteh Andi, “kata orang-orang tua tanah ini kan angker ya”, sambungnya lagi.

“Hus …!” Sahut Ruri sambil meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya.

Semuanya langsung terdiam dan tenggelam dalam lamunannya masing-masing.

Ilustrasi Kebon kosong
Ilustrasi Kebon kosong

Waktu terus saja berlalu, hingga suatu malam, kali ini, gerimis terus saja mengguyur bumi. Maklum, masuk musim penghujan. Lepas salat Isya, tak seperti biasanya, kebanyakan jamaah lebih memilih untuk pulang — hanya beberapa saja yang seperti biasa membaca Surah Yasin secara berjamaah di malam Jumat.

Baru saja jamaah menyesaikan doa penutup, terdengar suara; kresek …!

Bersamaan dengan bangunnya para jamaah, di luar sana terdengar suara orang ketakutan; “Ampun … ampun … lepaskan … ampuuuuuuuuuun!

Semua langsung menuju ke arah suara. Ternyata, Dudung, tengah ketakutan sambil memegangi tangan kanannya seolah hendak melepaskan diri dari cengkeraman yang teramat kuat. Sejenak semua saling pandang. Paman Ruri yang tanggap langsung saja berkata dengan santun; “Sudah Ki … ampuni dia. Dia hanya orang suruhan”.

“Ayo kita salawatan, biar Ki Sera mau maafin kelakukan Bang Dudung”, ajak Paman Ruri dan tak lama kemudian terdengarlah lantunan salawat.

Beberapa saat kemudian, Bang Dudung yang sejak semula merintih mulai diam. Hanya wajahnya mencerminkan ketakutan yang teramat sangat. Paman Ruri segera mengambil air putih dan menyerahkan kepada Bang Dudung untuk diminum dan sisanya dipakai untuk membasuh mukanya.

“Ampunin saya Paman Ruri dan bapak-bapak yang laen, soalnya, saya enggak ngerti”, ucap Bang Dudung dengan penuh rasa takut dan malu.

“Baik … dimaafkan. Tapi jangan diulang lagi. Ini juga buat peringatan bagi yang lain agar tidak membuang sampah di sini” kata Paman Ruri panjang lebar, “saya bukan nakut-nakutin, tapi, beliau memang sudah lebih dulu tinggal di sini dan enggak mau di pindah”, pungkasnya.

Semuanya diam, dan akhirnya mereka pun pulang ke rumah dengan membawa angan dan pikiran masing-masing.

artikel terkait

Apa komentarmu?

Artikel Terbaru

ARTIKEL MENARIK LAINNYA

Sembelih, Cara Terbaik Menjagal Hewan

Metode penyembelihan lebih aman dibandingkan pemukulan atau cara jagal lainnya. Ini telah dibuktikan oleh Profesor Wilhelm Schulze dan Dr Hazem, dari Universitas Hanover, Jerman....

Melihat Hantu Gadis Kecil di Kamar Adik

Ketika saya mengikuti ayah saya di tikungan, saya melihat ke ujung lorong di mana kamar adik laki-laki saya berada. Saya terkejut saat melihat pintunya...

Artikel Terpopuler