Ia merupakan sosok yang amat dihormati, betapa tidak, setelah istrinya meninggal dunia beberapa tahun lalu, Mbah Gimin lebih banyak menghabiskan waktunya di surau untuk menjadi imam sekaligus guru mengaji anak-anak….
oleh: Tim Redaksi
Neomisteri – Mbah Gimin, demikian sapaan akrabnya adalah sosok yang amat dikenal. Rumahnya yang terletak di pinggiran desa yang berbatasan dengan hamparan sawah yang luas dan hutan kecil tampak sangat sejuk dan asri. Ya … Mbah Putri Gimin almarhum adalah sosok yang tak pernah diam. Boleh dikata, hampir tiap saat ada saja yang dikerjakan.
Menyapu pekarangan, memetik tanaman dan buah untuk dimasak bahkan ada pula yang dijual kepada tetangga yang membutuhkan, bahkan membuat pelbagai barang kebutuhan sehari-hari dengan anyaman bambu. Sementara, Mbah Gimin lebih banyak menghabiskan waktunya di sawah, ladang dan surau yang letaknya tak jauh dari rumah mereka.
Dari sekian banyak anak-anak yang turut mengaji dengan Mbah Gimin selepas salat Asar, Dodo, Karto dan Marno adalah tiga anak yang tergolong sangat nakal. Walau jarang datang untuk salat berjamaah dan mengaji, beruntung, ketiganya tergolong anak yang cerdas — karena itu, Mbah Gimin memberikan perhatian yang berlebih ketimbang yang lain.
Di antara ketiganya, Marno sudah dianggap seperti cucunya sendiri. Maklum, Mbah Gimin tidak dikaruniai keturunan. Sehingga, tiap hari, Marno lebih sering berada di tengah-tengah Mbah Gimin ketimbang di rumahnya. Dalam setiap kesempatan, Mbah Gimin selalu mengingatkan Marno; “Nang, kalau hidupmu mau selamat dan tenteram, jangan sekali-kali melanggar larangan agama dan negara”.
Waktu terus berlalu. Dodo, Karto dan Marno pun sudah berumah tangga bahkan Mbah Gimin pun telah wafat, semua warga desa sepakat, rumah peninggalan Mbah Gimin dipakai untuk TPA. Mbak Aisyah istri Marno menjadi guru di sana. Maklum, Dodo dan Karto lebih memilih untuk bekerja di kota, alasannya, untuk merubah nasib.
Bahkan, belakangan Dodo dan Karto dapat dibilang sangat berhasil. Keduanya berhasil meraih posisi yang baik, sehingga, mampu membahagiakan keluarganya dengan materi. Bak dua sisi mata uang, keberhasilan keduanya juga dibarengi dengan perubahan perilaku. Keduanya begitu asyik mengejar dunia, sehingga, kebiasaan puasa sunah, salat malam dan mengaji pun perlahan mulai ditinggalkan — bahkan, untuk menyesuaikan dengan posisi di kantornya, keduanya juga larut dengan hiburan atau dunia malam.
Seperti biasa, setiap tahun sekali, bersamaan dengan acara bersih desa, hampir seluruh penduduk bahkan mereka yang merantau pun kembali ke kampung halamannya. Selain untuk berziarah, kesempatan yang satu ini juga dimanfaatkan dengan silaturahmi pada keluarga, tetangga juga pada teman dengan sahabat di waktu kecil. Dodo dan Karto pun sepakat untuk pulang kampung. Selain untuk berziarah, keduanya juga kangen dengan Marno sahabat di waktu kecil.
Malam itu, ketiganya larut dalam kegembiraan. Dodo dengan Karto begitu bangga memamerkan keberhasilaannya masing-masing.
Marno hanya tersenyum dan mengucap; “Alhamdulillah” atas keberhasilan kedua sahabatnya.
Malam yang semakin tua membuat udara pun menjadi dingin. Keduanya pamit kepada Marno untuk ke toilet. “Pakai toilet TPA saja, lebih bersih”.
Dan apa yang terjadi? Menjelang toilet, keduanya dengan jelas melihat sosok Mbah Gimin yang sudah lama meninggal. Senyum khasnya tak pernah lekang dari bibirnya. Hanya saja, dari kedua matanya tampak titikan air mata. Sambil menggelengkanb kepala, terdengar suara Mbah Gimin dengan nada berat; “Hentikan kelakuan kalian jika tidak mau berurusan dengan hukum Tuhan dan hukum negara”.
“Mumpung Allah masih menutup aib kalian. Hentikanlah …”, sambung Mbah Gimin yang langsung menghilang disaput angin malam.
Keduanya tak jadi menuntaskan hajatnya dan menemui Marno sambil menarik tangannya dan berkata; “Yok … antar kami pulang”.
Esok siangnya, keduanya menemui Marno dan menceritakan apa yang dialaminya semalam. Marno hanya bisa berkata; “Ternyata Mbah Gimin begitu mencintai kita bertiga. Buktinya, beliau masih mengingatkan kalian agar segera insyaf dan kembali ke jalan yang benar”.
Dodo dan Karto pun mengangguk tanda setuju ….