Renungan Neomisteri: Tahun Saringan

Bagi yang “mengaji roso”, situasi belakangan ini mulai dari pandemi COVID dengan sekian variannya, bencana alam yang berkesinambungan bahkan rasa kemanusiaan yang kian memudar adalah merupakan pertanda zaman yang harus diwaspadai oleh kita semua ….
oleh: Bhre Putradewa

 

Neomisteri – Di tengah kegalauan akibat pandemi berkepanjangan serta beban hidup dan kehidupan yang kian menyesakkan dada, neomisteri mencoba mengingat pelbagai hal serta mencari-cari catatan yang bertalian dengan keadaan yang tengah di hadapi oleh seluruh umat manusia.

Boleh dikata, kali ini tak hanya Nusantara tercinta, hampir seluruh umat di belahan dunia lain juga turut merasakannya. Selain COVID yang telah bermutasi dengan berbagai varian, bencana alam juga terjadi di seantero belahan dunia — korban yang berjatuhan pun tidaklah sedikit.

Hanya ada satu kata yang tepat untuk segala peristiwa menyedihkan yang terjadi belakangan ini; kecuali “musibah dunia”.

Baca: Alasan Psikologis Kenapa Serial Squid Game Sangat Populer

Beruntung, neomisteri masih sempat menyimpan beberapa catatan kecil hasil wawancara singkat dengan Kakek Bogor (kebetulan waktu itu kami mewawancarai beliau di tengah-tengah Kebun Raya, Bogor) dan sebagian besar yang mengenalnya biasa disebut sebagai Kakek Langlang Buana — sosok yang murah senyum dan menganggap siapa pun yang datang adalah putra-putri kandungnya sendiri. Tak pernah membedakan antara satu dengan lainnya.

Pesan yang selalu terngiang-ngiang di telinga neomisteri adalah; “Jaga hati. Karena, di situlah tempat yang paling menentukan. Apakah kita wong, atau manusia”.

Pengertian wong di sini adalah sosok yang belum berpendidikan dalam arti yang seluas-luasnya — sehingga, dalam berpikir, berkata dan berbuat hanya menuruti kebenaran bagi dirinya saja. Bukan kebenaran universal atau kebenaran ilmu pengetahuan (epistemologi) yang dalam bahasa Jawa lebih dikenal dengan kata; “Bener lan pener!”

Berkebalikan dengan manusia, ia merupakan sosok yang sempat mengenyam pendidikan baik dari lingkungan keluarga, formal maupun informal. Menurutnya, jika tidak malas dan memiliki keingintahuan yang besar secara perlahan namun pasti dapat menjadi manusia — artinya, dalam berpikir, berkata dan berbuat tidak akan menyakiti sesama bahkan makhluk ciptaan-Nya. Karena sosok yang seperti ini selalu berpegang teguh pada; pikirkan, rasakan, kerjakan!

Baca: Mengungkap Misteri Proyeksi Astral atau Meraga Sukma

Jadi bukan alon-alon asal kelakon (perlahan namun pasti-Jw), akan tetapi, ini merupakan suatu bukti betapa nenek moyang sangat berhati-hati di dalam mengambil sikap atau mengerjakan segala sesuatu dengan tujuan agar keseimbangan serta keharmonisan dalam hidup dan kehidupan dapat selalu terjaga. Itulah sebabnya, kenapa banyak bangsa asing sengaja datang ke Nusantara untuk mengeduk kekayaan, mengambil dan mengkaji ilmu dan budaya — kemudian dengan bangga mereka menepuk dada seolah bangsa yang bermartabat dan berilmu pengetahuan tinggi.

Saah satunya adalah empirisme yang secara harfiah berarti; yang menyatakan bahwa semua pengetahuan didapat dari pengalaman — sejatinya, mereka tidak bisa menafikan bahwa primbon pranata mangsa — sistem penanggalan yang menjadikan alam sebagai petunjuk tentang apa-apa yang harus petani lakukan dan diberikan pada tanamannya yang disusun oleh nenek moyang adalah merupakan hasil pengamatan secara berkesinambungan terus menerus sehingga dapat dijadikan pedoman oleh penerusnya.

Bertalian dengan yang tersebut di atas, pada akhirnya, manusia tersebut akan mencapai suatu tingkatan yang biasa disebut dengan manusia asli, manusia sejati dan manusia yang bukti. Secara harfiah dapat diartikan sebagai manusia yang sudah bertemu dengan dirinya sendiri.

Bagi generasi belakangan yang terlahir di tengah-tengah kemajuan teknologi yang teramat pesat sehingga mengubah hidup dan kehidupan manusia, sejatinya, jauh-jaih hari sudah diingatkan oleh para pendahulu bangsa lewat kata; kali ilang kedunge; orang mulai kehilangan ikatan di antara sesamanya, contohnya; kecelakaan di jalan tidak membuat orang bersimpati untuk menolong, mereka bahkan asik dengan HP-nya untuk membuat konten; pasar ilang kumandange; kita tak lagi mengenal tawar menawar sebagaimana di pasar tradisionmal, namun, kita kembali pada pola lama. Pasar Bisu. Artinya antara penjual dan pembeli tak saling lagi mengenal — wong wadon ilang wirange; cara berpakaian bahkan sampai dengan urusan ranjang dengan entengnya dibuka dan menjadi konsumsi publik.

Berkaca dengan yang sedang terjadi, maka, neomisteri kembali teringat akan pesan dari Kakek Langlang Buana; “Sebentar lagi akan ada tahun saringan, kalau masyarakat Sunda bilang tahun ayak-ayak beas, kalau masyarakat Jawa bilang bakal ada tahun saat wong Jowo kari separo, cino londo kari sakjodo”.

Baca: Metode Kirlian, Klenik yang Dibungkus Sains

Inilah tahun terberat dari hidup dan kehidupan manusia akhir zaman. Berbegai cobaan akan terus datang silih berganti, menurut Kakek Langlang Buana kata kuncinya hanya satu; “Harus mampu mawas diri. Selalu mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta karena hanya kepada-Nya lah kita menyembah, meminta dan kembali nanti.”

“Karena, dalam menjalani hidup, manusia harus bermanfaat kepada dirinya sendiri, keluarga, keluarga besar, agama, lingkungan, bangsa dan negaranya”, pungkasnya.

Sayang, Kakek Langlang Buana kini entah ada di mana. Neomisteri hanya bisa merenung dan menuliskan kembali catatan kecil ketika mewawancarai beliau di Kebun Raya Bogor kurang lebih 15 tahun yang lalu.

artikel terkait

Apa komentarmu?

Artikel Terbaru

ARTIKEL MENARIK LAINNYA

Cerita Seram Rumah Sakit Kosong

Tapi dokternya enggak dateng-dateng. Padahal sudah ditungguin lama. Terus pas nengok dari spion, ternyata rumah sakitnya gelap, kosong, dan terkunci.   Neomisteri - Jadi ini kejadiannya...

Masjid Baiturrahman: Tegak Berdiri Walau Didera Tsunami Dahsyat

Namun keajaiban terjadi. Di tengah reruntuhan puing-puing bangunan yang rata dihantam tsunami, sebuah masjid masih dengan tegak berdiri. Hantaman tsunami hanya merusak interior dan...

Artikel Terpopuler