Senja belum lama turun menyungkupi bumi, di antara kerlip lampu-lampu, di sebelah sana, dari Vihara Wat Pai Ngoen tampak pendar kehitaman hampir menyungkupi seluruh bangunan itu ….
oleh: Aji Prakasa
Neomisteri – Hari ini, di rentang Februari 2019, aku mendapatkan kesempatan untuk menjelajahi Negeri Gajah Putih — bahkan ada pula yang menyebut sebagai negeri seribu vihara — yang memang sangat menarik wisatawan baik domestik ataupun manca negara untuk menjelajahi dan menghirup langsung udara hidup dan kehidupan di negeri yang juga merupakan surga bagi orang-orang penggemar belanja dan hiburan malam.
Seperti biasa, setelah sejenak beristirahat, aku pun sengaja ke luar hotel untuk menikmati dan merasakan denyut kehidupan di kota Bangkok. Khususnya pada malam hari. Pat Pong yang lebih dikenal dengan sebutan red light district sudah barang tentu menjadi tujuan utamaku.
Ketika sedang asyik memperhatikan para calo agar kita masuk ke dalam bar-nya, mendadak terdengar suara halus yang sangat kukenal; “Mas Tok … Mas Tatok, hayo ketauan lu. Inget umur lu, bukannya insyap malah makin jadi”.
“Yu … Ayu. Lu kok di sini? Ngapain?” Tanyaku sambil membalik badan dan menatap wanita bertubuh semampai yang sedang tersenyum dengan senang.
“Gua kan mang udah lama di sini. Biasa, cari recehan”, jawab Ayu, “terus lu ngapain maen-maen ke tempat ginian? Di mana-mana sama”, tambahnya dengan riang.
Setelah kami saling melepaskan rasa kangen, maklum, sudah lima tahun tidak bertemu, kami pun berjalan menyusuri Pat Pong untuk berwisata kuliner. Agaknya, Ayu yang sudah hampir empat tahun mukim di Bangkok sangat hafal dengan tempat-tempat makan yang murah dan halal.
Malam itu, jadilah kami makan Khao Pad (nasi goreng-red) sambil berceloteh seputar masa kuliah. Ya … aku adalah salah satu dosen favorit, sementara, Ayu adalah salah satu mahasiswaku yang terpandai, terbaik dan tersantun.
Ia menceritakan pengalamannya selama bertugas di Bangkok, hingga akhirnya ia berkata; “Mas Tok masih suka bisa ngeliat ma komunikasi sama gituan?”
Sejak awal jadi pengajar, aku memang biasa bergaul dekat dengan mahasiswa. Sehingga, bahasa lu, gua sangat biasa di antara kami, bahkan, hampir semua tahu kalau aku dikaruniai kelebihan dapat melihat dan berkomunikasi dengan makhluk astral.
“Kalau masih bisa ma penasaran, bentar lagi, kita ke sana. Sekarang cepetan abisin rokoknya. Jangan nyambung mulu”, kata Ayu setengah memerintah.
Aku hanya mengangguk. Ya … sejak dulu gadis yang satu ini memang tidak pernah berubah. Riang, taktis dan selalu memaksakan kehendaknya yang dirasakan baik. Lepas mematikan rokok di asbak, kami pun berjalan. Ayu langsung mendatangi Tuk Tuk kendaraan sejenis bajaj di Indonesia dan menyebutkan kata; “Soi Wat Phai Ngoen … Bang Khlo, Bang Kho Laem”.
Sang pengemudi mengangguk dengan senyum dan mempersilakan kami untuk naik. Dari kejauhan, aku melihat sebuah bangunan yang memendarkan cahaya kehitaman — dan 35 menit kemudian, aku dan Ayu sudah berada tak jauh dari bangunan Vihara Wat Pai Ngoen.
Begitu turun, sambil membayar ongkos Tuk Tuk dari ekor matanya Ayu melihat tangan Mas Tok seolah sedang membelai-belai sesuatu yang berdiri di depannya, sambil sesekali menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Mas Tok terlihat sangat marah. Tak lama kemudian, Mas Yok tampak mengangguk-anggukan kepalanya, sementara, tangannya terus saja bergerak-gerak seolah sedang menyambut ulran tangan.
Ayu sadar, beberapa orang yang lewat tampak memperhatikan Mas Tok dengan serius. Mungkin mereka beranggapan, Mas Tok adalah orang gila. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Ayu pun berusaha mengingatkannya.
“Oke Mas … kita udah ampir sejam di sini. Ntar lu ditangkep polisi karena dianggep orang gila”, kata Ayu agak keras.
Aku tersadar. Sementara Ayu memanggil Tuk Tuk, aku pamit kepada begitu banyak anak-anak yang merasa dendam akibat hidupnya dirampas secara paksa oleh orang tuanya. Aku memang enggan untuk mengungkapkan peristiwa menghebokan dengan diketemukannya dua ribuan lebih tas berisi janin pada rentang 2010. Tak patut rasanya mengoyak luka itu. Namun yang pasti, dari celoteh mereka aku benar-benar sadar, ternyata, mereka sengaja mengganggu siapa pun karena memendam perasaan kecewa yang teramat sangat.
Betapa tidak, sejatinya, mereka juga menginginkan hidup yang selayaknya. Menghirup udara dunia, melihat keindahannya dan dewasa di bawah asuhan arif ayah dan ibu yang mencintai dan menyayanginya — tapi apa daya, ternyata, ayah dan ibu mereka tidak menyayangi dengan berbagai alasan yang sangat mengecewakan dan tidak masuk akal — takut miskin, takut malu, bahkan ada yang hanya mencari kepuasan sesaat. Ya … kita semua mafhum dengan gaya hidup dan pergaulan masa kini, tak hanya yang muda, bahkan yang sudah berumur pun kadang larut di dalamnya tanpa memikirkan akibat dari apa yang diperbuatnya.
Perlahan namun pasti Tuk Tuk mengantarkan aku ke hotel, sementara, Ayu juga kembali ke apartemennya untuk beristirahat dan memulihkan tenaga untuk bekerja esok hari. Hari ini, di Bangkok, aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga tentang hidup dan kehidupan. Ia berjanji, esok malam akan mengantarkanku ke suatu tempat yang tak kalah angkernya.