Ia benar-benar tak menyangka, Kidung Rumeksa ing Wengi warisan Sunan Kalijaga yang selalu disenandungkannya bila sedang senggang, ternyata, mampu melindungi dirinya dari maut ….
Oleh: Uyip Basuni
Neomisteri – Berbeda dengan teman sebayanya, Tono (18 tahun) adalah pemuda lugu dan anak semata wayang yang lahir dan dibesarkan oleh keluarga yang teramat sederhana. Ayahnya bekerja serabutan, sementara, sang ibu mencari rumput untuk pakan ternak milik tetangganya.
Walau begitu, Tono tergolong anak yang rajin. Lepas sekolah, ia tidak duduk berpangkutangan. Ia sibuk mengisi kolam dan kadang menanak nasi atau mencuci pakaian untuk meringankan kerja kedua orang tuanya. Selain membantu pekerjaan di rumah, ia juga dikenal sebagai sosok yang santun dan ringan tangan.
Oleh sebab itu, hampir seluruh masyarakat senang terhadap pribadinya.
Begitu Tono tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi, SMA, banyak orang yang menyayangkan keputusannya. Dengan berbagai cara mereka membujuk Tono agar mau sekolah lagi, tapi apa daya, Tono tetap pada pendiriannya.
“Saya mau bekerja di Jakarta buat membantu bapak dan simbok,” demikian katanya. “Kalau mungkin, mau melanjutkan sekolah di sana,” imbuhnya dengan mata berbinar.
Singkat kata, setelah menggelandang bebarapa hari di Lapangan Banteng, akhirnya, tepat hari kelima ia bisa bekerja di salah satu toko yang menjual pelbagai macam bahan bangunan. Beruntung, ia juga dapat tidur di bedeng yang terletak di bagian belakang toko. Dengan begitu, kebutuhan yang harus dipenuhi hanyalah makan dan cuci pakaian.
Karena mudah bergaul, dalam waktu singkat, Tono pun bisa bergaul dengan teman dan penjaga warung tempat ia makan sehari-hari yang letaknya sekitar dua ratus meter dan harus melewati gang sempit dengan sinar lampu yang temaram. Kesantunan dan keluguannya, membuat si penjaga warung menaruh perhatian yang khusus kepadanya.
“Ujang lebih baik kerja di sini. Kalau di sana, hati-hati. Harus banyak istighar dan jangan lupa salat lima waktu,” demikian kata sang pemilik warung dengan dialek Sunda yang kental pada suatu hari.
Tono hanya mengangguk. Namun, karena kata-kata itu begitu sering diucapkan, akhirnya, Tono pun balik bertanya; “Sebenarnya, apa yang Mamang ketahui?”
“Sudah tiga tahun ini, ada saja karyawan yang kecelakaan. Semuanya mati,” bisik sang pemilik warung lirih. “Tapi jangan bilang siapa-siapa ya,” imbuhnya mewanti-wanti.
Hati Tono tercekat. Angannya langsung menuju ke bagian belakang rumah si pemilik toko bahan bangunan tempat ia bekerja. Betapa tidak, bagian itu seolah dibiarkan kumuh tak terurus. Penuh rumput liar dan onak duri, kadang digenangi air hujan dan penuh dengan sampah. Tempat itu benar-benar kumuh.
Anehnya, tidak ada upaya dari si pemilik rumah untuk membersihkannya.
“Jangan-jangan pesugihan kandang bubrah,” demikian bisik hati Tono.
Sejak itu, hampir tiap senggang, ia pun melantunkan kidungan karya Sunan Kalijaga yang sering dilantunkan oleh ayahnya di rumah setiap malam sebelum tidur. “Selain melestarikan kebudayaan leluhur, juga agar dilindungi oleh Yang Maha Hidup,” demikian kata ayahnya jika ia menanyakan kidungan yang dilantunkan.
Karena mendengar sejak kecil, sudah barang tentu, Tono pun jadi hafal.
Hari, minggu dan bulan pun terus berganti. Malam itu, entah kenapa, Tono tak bisa memejamkan matanya barang sekejap. Malam terus menua, namun, udara terasa begitu hening. Binatang malam yang biasa ramai seolah tertidur. Bahkan, angin pun tidak bertiup ….
Bulu roma Tono pun meremang. Tanpa sadar, walau sambil memejamkan matanya, ia pun terus melantunkan Kidung Rumeksa ing Wengi. Entah sudah berapa kali ia melantunkannya ….
Entah dari mana asalnya, tiba-tiba, ia mendengar suara begitu ingar. Bak segerombolan orang tengah memburu pencuri. “Ini dia …!” Begitu kata yang terdengar olehnya.
“Bukan … jangan yang itu …”, demikian kata yang lain hampir bersamaan.
Sementara, Tono terus asyik dengan lantunannya.
Gemuruh angin yang menerpa, membuat Tono membuka matanya. Ia terkejut. Betapa tidak, di depannya berdiri sesosok tubuh yang luar biasa besar dan dipenuhi bulu kasar, bersiap akan mencekik lehernya.
Tapi apa daya, tangan yang kasar dan kekar itu tak pernah dapat menjamahnya. Bahkan, tubuh itu seolah terdorong oleh kekuatan panas yang tak kasat mata yang memancar dari seluruh tubuh Tono.
“Bangsat … Panas … Hai manusia, engkau akan ingkar janji?” Demikian katanya dengan nada marah.
Setelah mencoba beberapa kali namun tak pernah berhasil, akhirnya, lelaki bertubuh besar dan berbulu kasar itu mengajak teman-temannya menuju ke rumah si pemilik toko.
Dan tak lama kemudian, terdengar suara tangisan seorang wanita yang menyayat, “Papa … Jangan tinggalkan kami. Bagaimana dengan anak-anak kita”.
Belum lagi hilang, keingaran pun kian menjadi-jadi. Kini, suara jeritan anak-anak yang terkejut karena ditinggal sang ayah dengan teramat mendadak.
Suasana bertambah gaduh. Dokter dan semua keluarga diberitahu. Menurut dokter keluarga, ternyata, sang pemilik toko bahan bangunan itu terkena serang jantung. Tono yang mendengar keterangan itu hanya bisa menarik napas panjang seraya mengucapkan “Alhamdulillah.”
Ia gagal menjadi tumbal pesugihan karena melantunkan Kidung Rumeksa ing Wengi yang biasa dilantunkan oleh ayahnya dan merupakan karya salah seorang Wali Sanga, Sunan Kalijaga.
[…] Tumbal Pesugihan […]