Penghuni rumah di sudut jalan itu dikenal sebagai sosok misterius, alih-alih berbincang, mereka hanya sekadar bertanya atau mengangguk kepada siapa pun yang lewat di depan rumahnya ….
Oleh: Tim Redaksi
Neomisteri – Neomisteri mendapatkan kisah menyeramkan ini dari Galih, lelaki muda yang berasal dari Jawa Timur dan bekerja sebagai salah satu petugas marketing pada bank swasta di bilangan Jakarta Pusat.
Galih yang lahir dan dibesarkan di salah satu desa bercerita; dahulu di sudut jalan menuju ke rumahnya ada keluarga yang benar-benaer misterius. Masyarakat hanya mengenalnya sebagai Keluarga Danu — yang terdiri dari Pak Danu, ayahnya yang sejak pindah telah sakit dan hanya terbaring di balai-balai khusus serta seorang pembantu setia yang akarb disapa Setro.
Dari Setro yang tiap pagi berbelanja di warung warga desa tahu, keluarga Pak Danu berasal dari Surabaya dan sengaja tetirah ke desa untuk mencari ketenangan. Selain itu, Keluarga Danu juga dikenal sebagai penghayat ilmu-ilmu tua. Pantas jika kita lewat rumahnya selalu tercium bau dupa harum yang teramat kuat.
Oleh sebab itu jangan heran jika menjelang Magrib, maka, jarang orang yang berani lewat di dekat rumah Keluarga Danu. Mereka lebih memilih jalan agak jauh ketimbang harus lewat dengan penuh perasaan was-was dan ketakutan ….
Menurut Setro, “Sebenarnya, Mbah Danu itu sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, begitu kata dokter di rumah sakit. Tapi, begitu dahinya disentuh Pak Danu, anak semata wayang kesayangannya, Mbah Danu sontak kembali bernapas”.
Semua yang sedang berbelanja di warung Mbah Kromo terkejut sampai-sampai mulut mereka pun terbuka tanpa sadar.
“Oh …”, hanya itu yang terlontar dari mulut Mbah Kromo, sehingga membuat semua yang sedang berbelanja dan mendengarkan jadi tersadar.
Mas Tomo, cucu Mbah Kromo yang besar dan bekerja di Surabaya langsung saja menyela; “Lho … di jaman sekarang masih ada yang mau belajar ilmu-ilmu begituan”.
“Bukannya berat dan harus kuat puasa”, imbuhnya.
Setro langsung saja menerangkan; “Dulunya Mbah Danu orang berada. Beliau punya berhektar sawah dan tambak, sehingga merasa perlu untuk menjaga diri. Hingga akhirnya, beliau memilih untuk berguru di hutan larangan sekitar gunung Arjuna. Sejak itu, Mbah Danu menjadi semakin pendiam dan mempunyai wibawa yang demikian tinggi … bahkan konon tak bisa mati jika tidak ada yang mau mewarisi ilmunya”.
“Kenapa Pak Danu tidak mau mewarisi dan membiarkan Mbah Danu sampai berlarut-larut terbaring di balai-balai”, pancing Mas Tomo.
“Karena Pak Danu punya keturunan. Ia pernah menikah tapi ditinggalkan oleh istrinya karena terlalu memperhatikan ayah ketimbang istri sahnya”, jelas Setro datar.
“Waduh … kalau begitu paling repot jika Pak Danu meninggal ya. Mbah Danu bakal jadi terlantar, hidup tidak berdaya namun matipun tidak …”, komentar Mas Tomo.
Setro tak mampu menjawab. Wajahnya langsung berubah murung … tak lama kemudian ia pamit untuk pulang dan memasak untuk makan Mbah Danu, Pak Danu dan dirinya sendiri. Sambil melangkah, hatinya pun berkata; “Kasihan Mbah Danu … siapa nanti yang merawatnya kalau Pak Danu meninggal dunia…?”
Hanya waktu yang mampu menjawabnya.