Gunung Gelap, di Garut Selatan, adalah merupakan salah satu tempat yang disungkupi aura mistis yang demikian pekat ….
oleh: Tim Redaksi
Neomisteri – Siapa pun tahu, ruas jalan sepanjang 7 KM yang membelah Gunung Gelap dipenuhi dengan berbagai jenis pepohonan yang besar dan rindang serta bebatuan yang juga sangat besar. Oleh sebab itu, jarang orang, khususnya yang mukim di luar kota Garut berani nekat melewati jika tidak sangat terpaksa — maklum, mulai menjelang sore apalagi malam ruas jalan yang satu ini diselimuti dengan kabut yang lumayan pekat sehingga membuat suasana terasa begitu mistis. Keangkeran tersebut makin bertambah, betapa tidak, pada rentang 1984-1985 areal yang satu ini dijadikan sebagai tempat pembuangan mayat yang dianggap bromocorah atau gali, preman — tepatnya, sosok yang dianggap sebagai pembuat keresahan di tengah-tengah masyarakat.
Ya … Gunung Gelap dianggap tempat yang sangat tepat untuk pembuangan mayat karena ruas jalannya berupa hutan lebat dan jurang-jurang dalam dengan aliran sungai yang mengalir di bawahnya.
Namun, menurut tutur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Tatar Sunda, Gunung Gelap adalah merupakan pengabadian nama atau tempat yang digunakan oleh dua pendekar sakti yang sampai saat ini terus bertarung. Hatta, pada suatu zaman hidup dua tokoh yang memiliki kesaktian amat luar biasa. Keduanya bersikukuh mengaku jika dirinya paling sakti, akibatnya, untuk menjadi yang nomor satu mereka pun memutuskan bertarung sampai ada yang mengaku kalah. Seiring dengan perjalanan sang waktu, walau telah salin alam, namun bagi yang memiliki penglihatan batin — pertarungan tersebut masih tetap berlangsung dengan sengit. Ya … belum ada satu pun yang mengaku kalah!
Keyakinan tersebut sejatinya dapat benar-benar dirasakan, ketika terdengar suara gemuruh ditingkahi dengan kilatan petir di Gunung Gelap, maka, itu adalah merupakan bukti bahwa pertarungan kedua jawara tersebut masih tetap berlangsung.
Lewat Kang Usep, neomisteri yang mencoba napak tilas beruntung dapat ditemui oleh Ki Jalu, sosok gaib, dan merupakan salah satu penjaga kawasan tersebut. Darinya neomisteri mendapatkan tahu bahwa, Gunung Gelap sejatinya merupakan salah satu dari sekian banyak “paku” Pulau Jawa. Dalam bahasa Sunda yang kental diungkapkan; “Di sini tersimpan sesuatu yang sangat berharga dan hanya bisa diambil oleh yang berhak. Budak Angon!”
Kalimat tersebut membuat neomisteri terhenyak. Betapa tidak, di luaran sana, Gunung Gelap memang menjadi perbincangan yang demikian hangat, khususnya, bagi para pemburu harta gaib peninggalan para leluhur bangsa. Mereka meyakini, harta tersebut di kubur di suatu tempat. Untuk menjaga keamanannya, sudah menjadi rahasia umum, harta tersebut ditutup dengan mantra sakti atau makhluk gaib yang juga memiliki kesaktian sangat luar biasa.
Ketika Kang Usep mencoba menelisik tempat dan persyaratan yang harus dibawa, Ki Jalu hanya tersenyum sambil berkata; “Silakan cari sendiri. Sebenarnya, kalau itu hak, maka, barang tersebut akan terhampar di atas tanah”.
“Tak ada syarat, selain hati yang bersih dan dipakai untuk kepentingan orang-orang yang selama ini hidupnya kurang beruntung. Nah … pada waktu itu, Tatar Sunda (baca: Nusantara) menjadi mercu suar dunia. Rakyat hidup dengan sejahtera, tenang dan damai serta kesantunan sebagaimana dulu”, imbuhnya lagi.
“Makanya, pesan kepada anak cucu jangan sampai lupa apalagi meninggalkan budaya leluhurnya”, pungkasnya.
Seiring dengan hembusan angin, perlahan namun pasti wujud Ki Jalu kembali ke alam keabadian dan neomisteri serta rombongan pun bersiap-siap untuk kembali ke rumah Kang Usep untuk beristirahat. Tak tampak kelelahan pada wajah Kang Usep. Ia tersenyum sambil berkata dengan nada riang; “Beruntung Ki Jalu bersedia menerima kita semua bahkan meninggalkan pesan yang amat berharga”.
“Maksudnya?’ Potong neomisteri.
“Ya … tidak semua yang datang ditemui oleh Uyut Jalu”, jawab Kang Nandang yang selama ini acap mendampingi Kang Usep, “kebanyakan hanya berupa isyarah atas kehadirannya berupa bau wanagi atau pohon yang bergoyang dengan keras”, tambahnya.
Alhamdulillah … hanya itu yang dapat neomistri ucapkan sambil melangkah mengikuti lainnya.