Alih-alih mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang ada di Jawa Tengah, kedatangan tentara Sekutu bahkan membebaskan dan mempersenjatai tawanan tentara Belanda ….
Oleh: Boediman
Neomisteri – 20 Oktober 1945, Brigadir Jenderal Bethel, memimpin tentara Sekutu mendarat di Semarang. Tujuannya tak lain, untuk mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang ada di Jawa Tengah dan sudah menyatakan takluk terhadap Sekutu.
Mulanya, mereka disambut dengan baik oleh Gubernur Jawa Tengah, Mr. Wongsonegoro. Kesepakatan pun terjadi, pemerintah RI sepakat untuk menyiapkan pelbagai bahan makanan untuk kelancaran tugas Sekutu, sementara, Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, sesampainya di Ambarawa dan Megelang, tentara Sekutu yang diboncengi NICA mengingkari kesepakatan dengan membebaskan tawanan Belanda bahkan mempersenjatainya. Ketegangan yang berlanjut dengan kontak tembak pun terjadi di Magelang.
Karena merasa sebagai penguasa, maka, tentara Sekutu mencoba melucuti senjata Tentara Keamanan Rakyat serta membuat kekacauan di mana-mana. Melihat kenyataan itu, Letkol M. Sarbini selaku pimpinan Tentara Keamanan Rakyat Resimen Magelang sontak memberikan instruksi untuk melakukan pengepungan terhadap tentara Sekutu dari segala penjuru. Kala itu, tak ada celah barang sedikit pun bagi tentara Sekutu untuk menghindar.
Beruntung, dalam keadaan yang teramat kritis, Presiden Soekarno turut campur tangan dan berhasil menenangkan suasana. Suasana itu diam-diam dimanfaatkan oleh tentara Sekutu untuk meninggalkan Magelang menuju Benteng Ambarawa.
Hingga suatu hari, tepatnya 25 November 1945, mendadak di langit Ambarawa terlihat tiga buah pesawat jenis Mustang (cocor merah) tengah bermanuver. Pesawat pesawat itu, tiba-tiba berpencar ke Kecamatan Tuntang, Bandungan dan Jambu. Sementara, di Bandungan, senapan mesin yang ada di salah satu pesawat memuntahkan peluru dan menjatuhkan sebuah bom.
Masih belum puas, salah satu pesawat yang melintas di Kecamatan Jambu melihat ada sebuah mobil jeep di depan Sekolah Kelurahan yang saat itu digunakan sebagai tempat pertemuan oleh Letkol Isdiman, salah seorang perwira kepercayaan Kolonel Soedirman dengan Mayor Imam
Androngi, Komandan Batalion TKR Banyumas.
Melihat itu, sang pilot langsung memberitahu teman-temannya. Tak lama kemudian, ketiga pesawat mustang (cocor merah-pen) dengan persenjataan yang lengkap menghujani gedung sekolah dengan rentetan tembakan. Akibatnya, Letkol Isdiman yang terkena tembakan akhirnya
gugur sebagai kusuma bangsa karena pendarahan.
Mengetahui Letkol Isdiman gugur, pada 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengumpulkan Komandan TKR dari berbagai daerah untuk menyusun strategi penyerangan. Tujuannya satu, merebut Ambarawa dari tangan tentara Sekutu dengan Belanda sebagai salah satu anteknya sekaligus pembuktian bahwa Indonesia yang berdaulat memiliki pasukan yang siap mempertahankan kemerdekaannya.
Di dalam pertemuan itu akhirnya diputuskan untuk menerapkan strategi “supit urang” yang bermakna pengepungan. Kelompok I yang merupakan “tubuh udang” adalah induk pasukan dengan jumlah kekuatan terbesar, 4 batalion, yang dipimpin oleh Mayor Suharto, Mayor Sardjono, Mayor Androngi dan Mayor Tirtosewoyo.
Sementara, Kelompok II yang merupakan “kaki udang” yang dipimpin Letkol Bambang Sugeng dari Resimen 14 Temanggung dan Letkol Kun Kamdani dari Resimen 14/Divisi V Purworejo, selanjutnya, kelompok lainnya III dan IV kebanyakan terdiri dari laskar dan pasukan rakyat yang membantu induk pasukan bila terdesak. Sebagaimana rencana, penyerangan dilakukan secara serentak ….
Tepat pukul 04.30, 12 Desember 1945, serangan pun dimulai dengan tembakan mitraliur diselingi dengan tembakan dari senapan jenis karaben. Pada saat itu, Kol Soedirman langsung memimpin jalannya pertempuran, sehingga membuat semangat pasukan-pasukan TKR pun menjadi semakin berkobar-kobar.
Tak ada rasa takut yang terbersit di hati atau benak mereka, tekad sudah bulat, penjajah Belanda harus segera keluar dari bumi pertiwi. Kala itu, Ambarawa dipenuhi dengan desingan dan bau mesiu, sementara, erangan yang terluka bahkan anyir darah pun mulai menyeruak kemana-mana ….
Semangat pantang menyerah disertai dengan perhitungan yang matang membuat pihak Sekutu dan Belanda kewalahan. Satu setengah jam kemuadian, ruas jalan yang menghubungkan Ambarawa-Semarang berhasil dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Akibatnya, bantuan makanan, amunisi bahkan pasukan dari Semarang, terputus sama sekali.
Keadaan itu membuat semangat juang TKR dan laskar rakyat menjadi semakin berkobar. Mereka terus melakukan tekanan terhadap pihak Sekutu dan Belanda. Pertempuran yang demikian sengit terus berlangsung hingga 4 hari. Pada 15 Desember 1945, pertempuran berakhir dan TKR berhasil merebut Ambarawa, sementara, pasukan Sekutu dipaksa untuk mundur ke Semarang.
Sejarah mencatat dengan tinta emas, keberhasilan tersebut membuat Kolonel Soedirman pada 18 Desember 1945, diangkat menjadi Panglima Besar TKR oleh Presiden Soekarno dengan pangkat jenderal. Padahal, 12 November 1945, di Gondokusuman, Yogyakarta, dalam rapat pimpinan, yakni para perwira dari unsur PETA dan KNIL dengan pangkat mulai letnan kolonel ke atas secara bulat telah memilih Kolonel Soedirman sebagai Panglima TKR.
Bertaut dengan peristiwa tersebut di atas, tiap tahun, 15 Desember selalu diperingati oleh TNI AD sebagai Hari Infanteri. Namun berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 163 Tahun 1999 dan Surat Keputusan KSAD Nomor Skep/662/XII/1999, Hari Infanteri ditetapkan
Tanggal 15 Desember sebagai Hari Juang Kartika.
————–
Dari berbagai sumber terpilih