Beberapa kali terjadi keanehan saat jasad akan dimasukkan ke liang lahat, selain mengeluarkan bau yang tidak sedap, mendadak, dari dasar tanah memancar air hitam berbau busuk, bahkan panjang liang pun selalu kurang ….
Oleh: Priyo Utomo
Neomisteri – Mendung kian menebal bahkan ditingkahi dengan lompatan kilat dan gelegar petir yang sambung-menyambung. Sementara di depan sana, semua yang mengantarkan jenazah Pak Urip tampak tegang, terutama Kang Jaka dan Teh Titik, sepasang putra/putri almarhum. Keduanya tampak begitu tegang dan malu. Maklum, Jaka dan Titik tak pernah menyangka, sang ayah yang selama ini menjadi sosok panutan dan sangat dihormati di kampungnya, harus mengalami peristiwa yang dirasa sangat memalukan itu.
Walau tidak lancar baca dan tulis, namun Pak Urip dikenal sebagai sosok yang jujur dan lurus. Maklum, sejak muda, ia turut berjuang untuk mempertahankan negeri dari belenggu penjajah. Teman-teman seperjuangannya sering bercerita pada Jaka dan Titik ketika keduanya masih kecil, selain setia kepada istri yang wafat setelah Titik duduk di kelas 5 SD, Pak Urip juga dikenal sebagai sosok yang dicari-cari pihak musuh atau gerombolan pengacau.
Maklum, banyak pihak penjajah dan gerombolan pengacau yang harus meregang nyawa karena terkena tembakan atau sabetan pedangnya. Ya … Pak Urip dikenal sebagai salah satu penembak jitu sekaligus jawara silat dan kebal. Nama Urip disematkan oleh teman-teman seperjuangannya pada suatu peristiwa penyerangan terhadap konvoi Belanda. Kala itu, rentetan peluru bak hujan lebat yang menerjang tubuhnya. Semua menyangka, tubuh lelaki kerempeng itu bakal hancur tak berbentuk.
Namun, tak lama setelah konvoi Belanda berlalu, lelaki bertubuh kerempeng itu menggeliat dan melambaikan tangan ke arah teman-temannya sambil berteriak; “Merdeka!”
Sejak itu, lelaki kurus yang bernama Hasan lebih dikenal dengan sebutan Urip yang mengandung arti hidup.
***
Seiring perjalanan sang waktu, Pak Urip yang akhirnya berhasil menyunting Entin sang bunga desa yang kala itu jadi incaran banyak lelaki. Dari mulai juragan tanah, juragan hasil bumi sampai dengan jawara atau mereka yang biasa mencari keuntungan dalam kesempitan. Demi menuruti keinginan sang istri, Urip pun lebih memilih untuk tinggal di desa yang jauh dari keramaian dengan bertani. Sikapnya yang santun dan tak banyak bicara, membuat banyak orang tak pernah tahu keperkasaannya dalam mempertahankan tanah tercinta ini.
Alih-alih penduduk kampung, Jaka dan Titik bahkan tak pernah mendengar cerita apapun dari mulut sang ayah atau ibunya. Mereka justru tahu dari cerita beberapa orang yang sangaja bertandang ke rumahnya untuk sekedar melepas kerinduan.
Melihat kenyataan yang terjadi di depannya, hati kecil Jaka berbisik; “Jangan-jangan, air yang terus memancar dari dasar makam dan lubang yang tak pernah cukup karena ilmu batara karang yang diamalkan oleh Ayah”.
Jaka langsung berdoa dalam hati semoga pemakaman ayahnya berjalan dengan lancar. Sementara, Titik hanya bisa memegang tangan kakaknya erat-erat sambil terus menangis. Walau telah diupayakan dengan berbagai cara namun tak juga berhasil. Akhirnya, dengan berat hati, jenazah Pak Urip pun dimasukkan dengan paksa dan langsung diuruk. Bertepatan dengan pembacaan doa dan ucapan terima kasih dari keluarga, hujan pun turun dengan lebatnya.
Hanya Jaka yang masih bertahan walau hanya sesaat. Tak lama kemudian, dengan berlari-lari ia pun kembali ke rumahnya. Malam itu, pengajian pun digelar. Tak seperti biasanya, usai pengajian, mereka pun kembali ke rumah masing-masing. Kala itu, Jaka pun merenung. Ia teringat kata-kata orang-orang tua; “Yang punya ilmu batara karang matinya tidak diterima bumi”.
Tanpa terasa, malam pun kian larut. Yang terdengar hanyalah suara rintik hujan dan sesekali suara lolongan anjing kampung di kejauhan. Tanpa terasa, ia tertidur hingga Azan Subuh tiba. Setibanya di Musala, hampir semua jemaah Subuh yang hadir menatapnya dengan penuh tanda tanya. Jaka belum sempat bertanya, karena, ikamat sudah dikumandangkan.
Lepas salat Subuh, Kang Ario, salah seorang putra dari Mang Barnas yang merupakan teman seperjuangan almarhum menggamit bahunya sambil berbisik; “Jak … jangan marah ya, tadi, sekitar pukul tiga Abah menelepon dan menceritakan bahwa ia dikunjungi Almarhum Pak Urip. Beliau hanya mengenakan kafan yang diselempangkan seperti orang sedang menjalankan ibadah haji”.
“Pak Urip meminta tolong kepada Abah agar segera disempurnakan. Maaf ya … aku hanya menyampaikan cerita Abah,” lanjutnya lagi.
Jaka terkesiap. Ketakutannya selama ini terjawab sudah. Almarhum menunjukkan dirinya hanya kepada teman-teman seperjuangannya, tidak kepada masyarakat tempat ia tinggal. Di tengah-tengah kegalauan dan pertimbangan apakah akan memberitahukan peritiwa itu kepada adik kesayangannya, Titik, mendadak terdengar deham. Jaka pun menoleh, seraut wajah jernih dengan senyum yang damai pun mengangguk.
“Oh … Wak Ustad Tahmid,” kata Jaka sambil mencium tangan.
“Kalau tidak keberatan, silakan singgah dan kita berbincang,” ujar Wak Tahmid dengan penuh harap.
Singkat kata, sambil menyesap kopi dan menghisap rokok dalam-dalam, Wak Tahmid pun menceritakan tentang segala keangkeran ilmu batara karang. “Beruntungnya, Almarhum tidak menggunakan ilmu itu untuk jalan keburukan. Mudah-mudahan, ada jalan terbaik untuk menyempurnakan kematiannya,” katanya dengan penuh keyakinan.
Mendengar itu, Jaka sontak memotong; “Wak … saya sangat berharap agar kematian ayah tidak menjadi gunjingan bahkan fitnah di tengah-tengah masyarakat”.
Wak Tahmid mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. “Berikan Uwak waktu selama tiga hari. Selama itu, Jaka dan Titik, tiap usai mendirikan salat fardu baca Surah Ar Rahman masing-masing sebanyak tiga kali. Hadiahkan untuk Almarhum”.
“Baik Wak … amanah itu akan kami jalankan dengan sebaik-baiknya,” kata Jaka sambil mohon diri.
Setibanya di rumah, ia pun menceritakan apa yang dialaminya kepada Titik. Sang adik hanya bisa menangis, menangis dan terus menangis ….
Pada hari ketiga, lepas mendirikan Salat Duha, tampak Wak Tahmid, Jaka, Titik dan beberapa orang menuju ke pemakaman. Tujuan mereka pasti, makam Pak Urip. Tak lama kemudian, tampak gundukan tanah merah yang masih basah tempat jasad Pak Urip dikubur. Ketika sampai di kuburan, mulut Wak Tahmid tampak berkomat-kamit.
Tak lama kemudian, sambil memegang nisan kayu yang berwarna putih dan bertuliskan nama Urip alias Hasan … Wak Tahmid pun menyiramkan air putih yang sengaja dibawanya. Jaka yakin, air itu sudah berisi doa-doa untuk kesempurnaan ayahnya. Kemudian Wak Tahmid mengajak semua yang hadir untuk membacakan Surah Yasin khusus kepada Almarhum Pak Urip alias Hasan.
Dan benar, bersamaan dengan terdengarnya ayat; ‘Innama Amruhu Idza Arada Syaian An Yaqula Lahu Kun Fayakun’, mendadak, petir tunggal menggelegar di atas langit. Aneh, padahal, cuaca terang benderang ….
Bersamaan dengan itu, dari makam Pak Urip, tampak seberkas asap putih dan perlahan-lahan hilang ditiup angin pagi. “Alhamdulillah …,” kata Wak Tahmid sambil melakukan sujud syukur.
“Semoga doa kita diijabah Allah dan beliau bisa tenang di alam sana,” lanjut Wak Tahmid sambil memberi isyarat kepada semua bisa segera pulang ke rumah masing-masing.
Selepas pengajian malam ketujuh, Jaka bermimpi. Selain mengacungkan jempol, sang ayah juga memberitahu agar menjadikan Wak Tahmid sebagai penggantinya sekaligus orang tempatnya bertanya jika ia dan Titik tengah menghadapi kesulitan.
Ketika Jaka bertanya apa alasan sang ayah begitu percaya kepada Wak Tahmid, almarhum pun menjawab; “Jika dirunut, guru Wak Tahmid punya nasab ke Syekh Datul Kahfi, Cirebon”.
Jaka pun terjaga. Ia duduk termangu di pembaringannya sambil bergumam; “Pantas saja beliau mampu menyempurnakan ayah yang mengamalkan ilmu batara karang. Alhamdulillah, Allah telah menunjukkan kebesarannya lewat Wak Tahmid”.
Demikian sekilas cerita Jaka khusus kepada neomisteri hanya untuk diambil hikmah sekaligus wawasan bagi pembaca tentang ilmu-ilmu kuno di Nusantara.