Tak ada seorang pun yang menyangka, Tony, lelaki tampan, pandai dan pewaris tunggal perusahaan yang kini dipimpinnya rela bertekuk lutut kepada staf marketing yang baru lima bulan bekerja di perusahaannya ….
oleh: Andrika Yudistira
Neomisteri – Malam semakin larut. Kesunyian malam dipecahkan oleh isak tangis seorang wanita yang bersimpuh di atas sajadah di kamar tidurnya. Sementara, di sebelah sana, tampak seorang anak lelaki berusia tiga tahun yang tengah tertidur lelap sambil memeluk gulingnya.
“Ya … Allah, berikanlah hamba kekuatan dalam menghadapi cobaan-Mu. Sinarilah hati Tony dengan cahaya-Mu agar ia segara kembali ke tengah-tengah kami seperti dahulu,” demikian doa yang selalu diungkapkan oleh Yanti, istri Tony yang selama dua bulan ini merasakan perubahan tidak wajar dari perilaku suaminya.
Betapa tidak, Tony yang semula periang, santun dan sayang pada keluarga, mendadak, tanpa sebab yang jelas menjadi temperamental bahkan acap membanting segala apa yang ada di dekatnya. Tak cukup sampai di situ, kata-kata yang terlontar dari mulutnya cukup pedas dan teramat menyakitkan.
Sejak awal, Yanti memang merasakan perubahan yang tak wajar tengah terjadi pada suaminya. Ia yang biasa datang dan pergi dari rumah dengan uluk salam, kini, hanya diam. Tatapan matanya seolah sedang menerawang jauh entah kemana. Jika hal itu ditanyakan, jawabannya pasti ketus disambung dengan kata-kata tak pantas yang selama ini belum pernah terlontar barag sekalipun dari mulutnya.
Karena tak tahan dengan keadaan itu, Yanti pun minta pendapat dari Marwan, salah seorang sahabatnya yang berasal dari Aceh. Yah … ketika kuliah, Tony dan Yanti, Marwan dan Laila, Heru dan Siska, serta Martin dan Rahma adalah merupakan empat pasangan yang cintanya tetap terjaga hingga berakhir di pelaminan.
Mendengar cerita Yanti lewat telepon, Marwan berjanji akan memberikan jawaban pada esok harinya.
Esoknya, tanpa Tony, para sahabatnya pun berkumpul di sebuah cafe tempat mereka biasa hang out sejak kuliah sampai masing-masing berumah tangga. Wajah yang datang tampak murung. Maklum, Tony yang mereka kenal adalah sosok yang santun, ramah dan bergaul dengan siapa pun. Setelah sejenak menanyakan kabar masing-masing, Marwan pun berkata dengan lirih; “Kelihatannya, saudara kita terkena pelet darah perawan.”
“Hah …,” kata yang lain dengan serempak.
Marwan menerangkan, ilmu pelet darah perawan ini sudah tergolong langka, bahkan hampir-hampir punah. Maklum, selain mantranya yang panjang dan sulit dihapal, ilmu ini biasanya dipakai jika si wanita sudah benar-benar merasa teraniaya. Misalnya, sudah hamil tapi ditinggal atau dipaksa untuk menggugurkan janinnya. Caranya cukup praktis, hanya mengambil setetes darah perawan yang baru mendapatkan menstruasi, menyimpannya di kapas dan dicelupkan pada minuman yang disuguhkan kepada targetnya.
Semua yang mendengar saling tatap. Tak ada satu kata pun yang terlontar selain helaan napas berat berkali-kali.
“Hanya ada satu cara, Yanti dan kita semua, khususnya aku sendiri, Heru dan Martin, mohon saling bantu untuk mengamalkan dengan khusyuk Hizib Nashr,” demikian katanya sambil menyerahkan beberapa lembar kertas yang bertuliskan Hizib Nashr, “dan kita mulai dari malam ini,” lanjut Marwan.
“Aku yakin, jika Allah berkehendak, dalam waktu dekat, Tony bisa kembali seperti semula,” tambahnya meyakinkan.
Yanti, Heru dan Martin langsung mengangguk. Mereka maklum, Marwan memang menguasai pelbagai hizib karena sejak kecil ia dibesarkan di salah satu pesantren yang ada di sana. Begitu merasa cukup, mereka pun saling berpamitan untuk kembali ke rumah masing-masing.
Singkat kata, pada malam ke tujuh, tepat malam Jumat, Yanti, Marwan, Heru dan Martin, di rumah masing-masing, antara tidur dan tidak, di tengah-tengah kekhusyukkannya mengamalkan Hizib Nashr mereka seolah didatangi oleh seorang nenek berambut gimbal, bergigi hitam dengan pakaian apa adanya. Tanpa banyak tanya, sang nenek langsung saja memukul mereka dengan tongkat kayunya sambil berteriak sengit; “Itu adalah hukuman bagi siapa pun yang berani mengganggu garis keturunanku.”
Hampir serempak, keempatnya pun langsung saja membalas; “Kami tidak mengganggu. Hanya ingin agar saudara kami kembali ke tengah-tengah keluarganya. Kami yakin, ia tidak akan pernah berani melakukan perbuatan yang melanggar aturan agama.”
Keempatnya kembali khusyuk melantunkan Hizib Nashr ….
Yanti, Marwan, Heru dan Martin hanya bisa merasakan seolah ada suatu benda berkilau yang melesat dari badan masing-masing dan langsung menyerang sang nenek yang tak diketahui namanya itu. Jeritan menyayat pun terdengar.
Seiring dengan itu, di sana, di sebuah hotel berbintang, Tonny yang baru saja berkesempatan membawa Ida, staf marketing baru yang selama ini mengggoda dirinya, tiba-tiba merasakan seolah ada pukulan telak yang menghantam kepalanya — seketika ia memundurkan kepalanya.
Ida yang sudah dikuasai nafsu asmara purba sontak bertanya; “Kenapa sayang … pusing?”
Tony pun terdiam sesaat. Begitu sadar akan dirinya, ia langsung mengenakan seluruh pakaiannya yang berantakan di lantai hotel sambil menangis.
“Kenapa harus begini ya Allah,” rintihnya.
“Pakai, silakan mau menginap atau pulang dan jangan temui saya lagi,” kata Tony sambil berjalan keluar kamar menuju lift untuk mengambil mobilnya yang terpakir di lantai dasar dan kembali pulang ke rumahnya.
Ida yang kebingungan karena merasa yakin telah berhasil menjerat Tony lewat pelet darah perawan, memungut dan kembali mengenakan pakaiannya. Kepalanya pening dan hatinya pun panas. Namun, ia tak tahu, kepada siapa amarah itu bakal ditumpahkan …
Bersamaan dengan kumandang Azan Subuh, Tony tiba di rumahnya. Ia langsung memarkir mobilnya di garasi, kemudian membuka pintu dengan kunci duplikat miliknya; “Assalamualaikum …”
“Waalaikumsalam,” jawab Yanti sambil keluar dari kamar tidurnya.
Tony langsung menghambur dan memeluk kaki Yanti sambil meminta maaf dengan menghiba. Yanti terkesiap, ia hanya menunduk dan mengangkat tubuh Tony sambil berkata; “Mama sudah memaafkan. Itu semua bukan kesalahan Papa, yang penting, wanita pengganggu itu jangan lagi bekerja di kantor kita. Berikan pesangon yang cukup agar dia bisa hidup sebelum mendapatkan pekerjaan baru.”
Tony pun mengangguk. Ia langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh, kemudian mendirikan Salat Subuh berjamaah bersama Yanti. Lepas itu, sambil tetap tertunduk karena merasa bersalah, Tony langsung menhubungi Desy, sekretarisnya, untuk memberikan surat pengalaman kerja sekaligus pesangon jika Ida masuk nanti.
Setelah itu, ia menghubungi Marwan, Heru dan Martin untuk mengucapkan terima kasih sekaligus mengatur waktu untuk mereka bertemu seperti dahulu.