Taktik Perang Gerilya yang diterapkan oleh Panglima Disi Siliwangi, Abdul Haris Nasution, membuat jalur Kuningan-Ciamis, Garut-Tasikmalaya, dan Sumedang-Tanjungsari merupakan jalan menuju neraka bagi pasukan Belanda ….
Oleh: Denisa Kusumadewi
Neomisteri – Keinginan untuk menguasai bumi pertiwi walau sudah merdeka, ternyata, tak membuat Belanda mau mengalah dengan begitu saja. Kekayaan tanah tercinta telah membuat siapa pun gelap mata untuk menguasainya. Oleh sebab itu, untuk kembali menguasai, maka, pihak Belanda melakukan operatie product yang kemudian lebih dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I yang terjadi pada 21 Juli 1947-5 Agustus 1947.
Pagi itu, hari pertama Agresi Militer I, Belanda benar-benar mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya. Selain prajurit, meriam, kendaraan lapis baja dan pesawat terbang memuntahkan pelurunya untuk menggempur posisi Tentara Nasional Indonesia yang ada di Jawa dan sebagian Sumatra.
Pihak Belanda tak lagi menghormati Perjanjian Linggarjati demi menguasai semua perkebunan yang ada di Indonesia, untuk memperkuat perekonomian pemerintahannya.
Kekuatan pihak Belanda membuat Divisi Siliwangi dengan mudah berhasil dipukul mundur. Mengetahui hasilnya, Belanda menambah kekuatan untuk menghancurkan sisa-sisa kekuatan yang dimiliki Divisi Siliwangi. Bersama-sama dengan pejuang lainnya, Divisi Siliwangi lebih memilih mundur ke hutan-hutan.
Alih-alih menyerah, Divisi Siliwangi malahan bertekad untuk menghancurkan mereka. Panglima Divisi Siliwangi, Abdul Haris Nasution pun menyusun strategi baru dengan memulai perang gerilya dengan taktik hit and run dan membentuk kantong-kantong perlawanan yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan wehrkreise (dari bahasa Jerman:”lingkaran/daerah pertahanan) adalah bentuk strategi yang digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia untuk melawan pasukan penjajah Belanda).
Strategi yang diterapkan oleh Panglima Divisi Siliwangi ternyata mampu membuat pihak Belanda harus menelan pil pahit. Korban yang berjatuhan pun meningkat. Dengan kata lain, setelah menerapkan strategi tersebut, Divisi Siliwangi berubah menjadi malaikat El Maut. Sejak itu, konvoi yang melalui jalan-jalan di Jawa Barat, menjadi tidak aman. Bahkan, menjadi arena pertempuran yang menggiriskan.
Phak Belanda bahkan menyatakan, bahwa ruas jalan Kuningan-Ciamis, Garut-Tasikmalaya, Sumedang-Tanjungsari sebagai jalan maut atau de dodenweg. Kenyataan tersebut adalah akibat serangan dari Divisi Siliwangi yang tidak pernah kenal waktu.
Dalam ‘De Politionele Acties‘ yang ditulis oleh Pierre Heyboer dan terbit pada rentang 1979 secara tegas menyatakan; “Berkali-kali korban Belanda dinyatakan “gugur di Tasikmalaya, Singaparna, atau Mangunreja”. Jika dilakukan gerakan pembersihan besar-besaran dengan dukungan tembakan meriam (artileri-pen) dan bantuan udara, maka lawan yang terdiri dari pasukan TNI, Hizbullah, Tentara Pelajar dan lain-lain mengundurkan diri ke daerah-daerah yang sulit untuk dijangkau. Akibatnya, kita (pihak tentara Belanda-pen) hanya mendapatkan hasil kelelahan saja.”
Saat itu, pihak Belanda tidak pernah menyadari betapa para pejuang yang menghadang mereka adalah para mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam Batalion 33/Resimen Pelopor yang didirikan di Bandung pada rentang 1945. Batalion yang dianggap sebagai malaikat El Maut ini dipimpin oleh mahasiswa Kogyo Dai Gakku (sekarang ITB-pen); yakni Kapten S.L. Tobing telah membuat pasukan ini tergolong sebagai salah satu yang diperhitungkan oleh pihak Belanda.
Siliwangi memang bukan pasukan sembarangan, demikian pengakuan Letnan Kolonel Flink. Selanjutnya, Flink menuliskan dalam “De guerilla oorlog, in heuvel ini West-Java”; “Kita (pihak Belanda-pen) tidak hanya menghadapi berbagai penyergapan dan penembakan serta perusakan-perusakan secara insidentil, namun, gerombolan bersenjata dan juga TNI melakukannya dengan secara rapi. Kesemua itu, hanya dapat dilakukan oleh pasukan yang terpimpin dan terstruktur dengan baik”.
Divisi C’7 December (pasukan Belanda-pen) yang mulanya mampu mengobrak-abrik pertahanan pasukan dan TNI, kini, dibuat tidak berdaya dalam setiap penghadangan yang dilakukan oleh pasukan dari Dicisi Siliwangi. Betapa tidak, pelbagai strategi yang digunakan tetap saja membuat pihak Belanda harus menelan kerugian yang teramat besar. Akibatnya sudah dapat kita duga bersama. Akibat selalu mendapatkan kekalahan demi kekalahan, maka, moril pasukan Belanda, perlahan namun pasti, merosot drastis.
Keberhasilan Batalion 33/Resimen Pelopor dalam melakukan perang gerilya, ternyata tidak hanya membuat satuan TNI di Jawa Barat saja yang meningkat morilnya, pasukan di daerah lain pun mengalami hal yang serupa. Betapa tidak, taktik serangan pertama pasti berbeda dengan taktik yang digunakan pada serangan-serangan berikutnya. Dengan kata lain, taktik penyerangan selalu berubah dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya, pihak Belanda yang semula pongah, terpaksa harus mengakui keunggulan para pejuang dan TNI.
Jika kita mau merunut ke belakang barang sejenak, khususnya peristiwa perang kemerdekaan, karena rakyat turut bahu membahu dalam melakukan perlawanan, maka, sungguh sangat tepat jika taktik tersebut disebut dengan istilah Perjuangan Rakyat Semesta.
Ironisnya, keberhasilan Divisi Siliwangi, tidak berlangsung lama. Atas nama pemerintah Republik Indonesia, Panglima Besar Jendral Soedirman meminta Divisi Siliwangi untuk menghentikan permusuhan sesuai dengan perjanjian yang terpaksa diambil Indonesia di atas Kapal Perang AS, USS Renville.
Bertaut dengan yang tersebut di atas, seluruh pasukan diperintahkan ‘hijrah’ ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, serta menyerahkan tanah kelahirannya kepada Belanda. Namun, pelbagai taktik yang dilancarkan oleh Divisi Sil;iwangi, kembali digunakan oleh seluruh satuan TNI ketika melakukan serangan besar-besaran pada Agresi Militer Belanda kedua.
——————–
Disarikan dari berbagai sumber terpilih