Perasaan kesal itu dipendamnya dalam-dalam. Hingga suatu hari, sang ibu tiri mengajak Saidah dan Saeni berjalan-jalan ke kota dan meninggalkan keduanya di tengah-tengah kelebatan hutan ….
Oleh: Andhika B
Neomisteri – Warta berkisah, pada suatu zaman, ada suatu keluarga yang memiliki sepasang anak yang bernama Saidah dan Saeni. Seiring dengan perjalkanan sang waktu, setelah segala sesuatunya dirasa cukup, maka, sang ayah yang bernama Sarkawi berniat untuk menunaikan ibadah haji.
Alih-alih kembali sebagai hal yang mabrur, di tengah perjalanan, Sarkawi tergoda dengan kegenitan salah seorang penari ronggeng yang bernama Maimunah. Jalinan cinta keduanya akhirnya dikukuhkan di pelaminan. Padahal, nun jauh di sana, sang istri dan kedua anaknya dengan setia menanti kepulangannya — hingga akhirnya, sang istri pun meninggal dunia karena sakit yang telah lama diidapnya.
Beberapa hari kemudian, Sarkawi pulang sambil membawa istri barunya. Sesaat ia terkejut mendengar kabar kematian sang istri, namun, ia tetap memperkenalkan sang istri barunya kepada anaknya, Saidah dan Saeni.
Hingga pada suatu hari, seperti biasa, Sarkawi pergi untuk mencari nafkah, sementara, sang istri Maimunah berbelanja ke pasar. Sebelum berangkat, Maimunah berpesan kepada Saidah dan Saeni; “Beras dan uang yang ada di sini jangan dipakai”.
“Tunggu sampai saya pulang”, tambah Maimunah sambil berjalan keluar rumah.
Saidah dan Saeni hanya bisa mengangguk. Sepeninggal Maimunah, Saeni merengek karena lapar, Maklum, biasanya, nasi dan sekadar lauk sudah tersedia dan mereka pun sarapan bersama. Karena hari kian tinggi dan Maimunah belum juga pulang dari pasar, akhirnya, Saidah nekat menanak beras dan uangnya dibelikan sekadar lauk untuk adiknya.
Ketika pulang, mengetahui beras dan uangnya lenyap, Maimumah pun marah dengan sejadi-jadinya. Umpatan kasar yang selama ini belum pernah didengar oleh keduanya, meluncur deras dari mulut sang ibu sambungnya. Saidah dan Saeni sangat terpukul dan sakit hati, hingga memutuskan untuk pergi dari rumah.
Takut keduanya mengadu pada sang ayah, Maimunah pun berpura-pura meminta maaf pada keduanya sambil berpikir keras untuk melenyapkan Saidah dan Saeni — pikiran busuk pun melintas — membuang keduanya di tengah hutan.
Pada saat yang tepat, Maimunah meminta izin kepada Sarkawi untuk mengajak kedua anak sambungnya berjalan-jalan ke kota. Singkat kata, seterlah puas berjalan-jalan, di tengah perjalanan pulang Maimunah meninggalkan keduanya di tengah kelebatan hutan. Saidah dan Saeni hanya bisa menangis, menangis dan terus menangis. Hingga akhirnya, Saidah dan Saeni didatangi seorang kakek misterius yang tidak tahu datang dari mana.
“Saeni, kamu bakal saya jadikan sebagai penari ronggeng, sedang Saidah menjadi penabuh kendang. Percayalah, kamu berdua bakal menjadi ronggeng terkenal”, katanya sambil membelai-belai kepala Saidah dan Saeni dengan lembut.
“Tapi ada syaratnya?” Lanjut si kakek misterius.
“Kalian berdua harus melakukan perjanjian dengan buaya putih”, jawab si kakek, “kalian bakal menjadi terkenal dan hidup berkecukupan selama waktu yang telah ditentukan”, tambahnya.
Sejak itu, Saeni sebagai penari dan Saidah sebagai pengendang ronggeng pun sontak terkenal. Pundi-pundi uangnya pun terus saja bertambah. Boleh dikata, keluarga itu hidup serba berkecukupan ….
Hingga suatu hari, sang kakek misterius datang untuk menagih janji. Saeni yang ingat akan janjinya berubah wujud menjadi buaya putih dan langsung terjun ke Kali Sewo, sementara, Saidah yang melihat kejadian itu langsung pulang untuk memberitahu orang tuanya yang langsung berangkat menuju ke lokasi kejadian.
Setibanya di tepian Kali Sewo, Sarkawi pun menerjunkan dirinya dan sontak berubah menjadi bale kambang (ranjang yang terbuat dari kayu-red), sementara, Maimunah yang juga ikut menerjunkan dirinya berubah menjadi pring ori (bambu) — sedang Saidah yang tinggal sendirian tak tahan menerima cobaan itu akhirnya tertidur karena kelelahan jiwani yang teramat sangat dan berubah menjadi bunga cempaka putih.
Agaknya, karena pada masa hidupnya Saidah dan Saeni acap pentas di sekitar Jembatan Kali Sewo, maka, buang koin yang sampai sekarang masih terjadi adalah sebagai ungkapan sawer terhadap keduanya yang diyakini penduduk menjadi penghuni gaib di alira sungai yang mengalir di bawah jembatan tersebut.