Beberapa hari setelah Kemerdekaan RI, penyerahan senjata oleh Militer Jepang kepada Badan Keamanan Rakyat ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Akibatnya, pertempuran sengit pun terjadi di mana-mana ….
Oleh: Erlangga DS
Neomisteri – Bermula muncul kabar akan adanya penyerahan senjata dari tentara Jepang kepada BKR dan para pejuang. Sebagian senjata yang telah berhasil dikumpulkan kemudian dipindahkan ke salah satu gedung sekolah di lereng bukit yang bernama Bergota. Namun, ketika pimpinan BKR Laut Semarang dan Pemerintah RI setempat bersama dengan para pejuang menghubungi tentara Jepang di Jatingaleh untuk menyerahkan senjatanya, sikap mereka sangat tidak menyenangkan. Sontak, suasana menjadi panas akibat terjadinya perobekan bendera merah putih oleh seorang tentara Jepang.
Alih-alih menyerahkan senjata, penguasa Jepang malahan memerintahkan Kidobutai, pasukan penyelamat orang-orang Jepang yang tertawan di bawah pimpinan Mayor Kido yang ada di Jatingaleh turun dan bergerak untuk menguasai kembali Semarang, sekaligus merebut kembali senjata yang sudah mereka serahkan ke BKR dn pemuda pejuang.
Sudah barang tentu, BKR dan para pejuang pun enggan menuruti kemauan mereka. Pertempuran 5 (lima) hari yang berlangsung pada 14-19 Oktober 1945 pun meletus.
Dengan semangat juang yang tinggi dan kegigihan luar biasa, unsur TKR Semarang termasuk TKR Laut beserta Laskar Rakyat Semarang menhadapi serangan tentara Jepang — menurut sejumlah catatan, Pertempuran 5 Hari di Semarang sekitar 2.000 jiwa pemuda pejuang dan rakyat Indonesia gugur sebagai kusuma bangsa
Ketika pertempuran mulai mereda, di Pantai Semarang, mendarat tentara Sekutu yang terdiri dari tentara Inggris, Belanda, Australia, Gurkha, dan Sikh. Akibatnya, pada 21 Oktober 1945 pertempuran antara TKR dan para pemuda dan pejuang yang tergabung dalam organisasi perlawanan Indonesia kembali berkecamuk. Untuk memecah kekuatan pihak musuh, di bawah pimpinan Nazir, Agoes Soebekti, Soekamto dan Wiranto, tokoh BKR Laut Semarang yang berasal dari Kaiji dan Pemuda SPT (Sekolah Pelayaran Tinggi) Semarang, membangun kekuatan di Demak dan Pati.
Bersama-sama dengan para pemuda pejuang lainnya, mulanya, mereka membentuk Laskar Rakyat Laut. Kemudian, selaras dengan keputusan Presiden RI tanggal 5 Oktober 1945, mereka sepakat untuk kembali ke bentuk awal; TKR Laut dan menetapkan hari jadinya sesuai dengan terbitnya tanggal keputusan tersebut.
Lewat berbagai pertimbangan yang cermat dan teliti, akhirnya, basis pertahanan pun dipindahkan ke Tegal.
Rencana pun disusun.
Pada waktu penerobosan dari Semarang menuju Tegal, selain peristiwanya yang demikian legendaris bagi para pelakunya, saat itu, muncul soaok pempimpin TKR Laut Demak yang bernama Darwis Djamin — selain saudagar yang kaya raya, Darwis Djamin juga memiliki peranan yang teramat penting dalam pemindahan pasukan dari Demak ke Tegal.
Tidak ada jalan lain, penerobosan ke Tegal hanya dapat dilakukan dengan menggunakan kereta api. Rencana pun disusun dengan matang. Seluruh pegawai KA Stasiun Semarang mulai dihubungi satu persatu — kode, sandi dan isyarat pun segera disesuaikan.
Tepat pada waktunya pasukan pun dengan tertib masuk ke gerbong. Jendela, pintu diperintahkan untuk ditutup ketika kereta mendekati Semarang. Saat memasuki Stasiun Tawang dan Poncol, kereta terus saja berjalan. Padahal, kereta seharusnya berhenti sejenak untuk menaikkan penumpang. Kepala Stasiun, Kondektur bahkan para pasukan Sekutu dan penumpang tidak dapat berbuat apa-apa.
Semuanya seolah kesima ….
Mereka baru tersadar ketika kereta sudah mulai menjauh. Sadar telah tertipu, pasukan Sekutu pun langsung bergerak cepat sambil menembak untuk menghentikan kereta yang sudah terlanjur lewat bahkan menambah kecepatan lajunya. Alhasil, kereta terus melaju tanpa hambatan sampai ke Tegal dengan selamat.
Setibanya di Tegal, pasukan yang dipimpin oleh Darwis Djamin bergabung dengan BKR Laut yang telah terbentuk sejak 30 September 1945 sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden RI lewat pidato radio pada 23 Agustus 1945. Mulanya, BKR Laut Tegal beranggotakan sekitar 40 orang, kemudian bertambah dan terus bertambah. Mereka berasal dari Pemuda Pelaut, bekas guru dan murid SPT (Sekolah Pelayaran Tinggi), anggota Heiho, Kaigun Heiho, anggota PETA, pegawai pelabuhan, pegawai perikanan laut, pegawai rumah penjara serta anggota bea dan cukai.
Mereka pun langsung melucuti senjata tentara Jepang, mengambil alih kapal-kapal yang tengah sandar di Pelabuhan Tegal dan aktif dalam KNI Tegal. Saat itu, Markas Besar BKR Laut Tegal di gedung bekas jawatan pelabuhan.
Adapun, pimpinan pertama dalam tahap konsolidasi TKR Laut di Tegal sebelum lahirnya Pangkalan IV ALRI Tegal, adalah Darwis Djamin, saudagar sekaligus tokoh maritim Demak yang berasal dari Sumatra Barat. Sejatinya, yang mengalami perkembangan paling pesat dalam tubuh Pangkalan IV ALRI Tegal adalah Corps Mariniers (CM) yang kala itu dikenal dengan sebutan Korps Ketentaraan ALRI. Kala itu, pangkalan ini mempunyai 7 (tujuh) batalion pasukan dan merupakan pangkalan yang terbesar ketimbang pangkalan-pangkalan lain yang ada.
Tidak ada yang dapat menepis, Pangkalan IV ALRI Tegal telah banyak mengukir sejarah dengan melakukan pelbagai bentuk sabotase bahkan penyelundupan untuk mempertahankan Bumi Pertiwi tercinta.
—————
Dari berbagai sumber terpilih