Asri meyakini, warungnya bakal berubah menjadi restoran besar dan terkenal jika ia bisa mendapatkan centong terbuat dari kayu milik tiga randa yang telah puluhan tahun ditinggal suaminya dan hidup dalam satu rumah ….
oleh: Sindhu Prabowo
Neomisteri – Asri berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumahnya sambil sesekali menarik napas berat dan menghembuskannya kuat-kuat seolah hendak menghilangkan beban berat yang tengah menghimpit dadanya. Asbaknya sudah penuh dengan puntung, sementara, gelas kopinya pun telah kosong. Maklum, di tengah-tengah persaingan usaha yang semakin ketat, Asri tak dapat membayangkan jika warung makan miliknya bakal gulung tikar ….
“Gua harus bisa dapetin centong tiga randa”, bisik hatinya, “kata orang-orang tua zaman dulu, kalo mao dagang makanan mateng kudu punya barang itu”, lanjutnya lagi.
“Tapi di mana?” Gumamnya sambil menepuk dahi.
Asri semakin panik, apalagi rokoknya habis. Ia pun menjawab salam; “Waalaikumsalam”, sambil bersungut dan berjalan ke arah pintu.
“Eh … lu, kirain sapah”, kata Asri masih dengan wajah kusut.
“Iye … ana”, jawab lelaki bertubuh gempal sambil menyalami Asri.
“Duduk Wing”, kata Asri mempersilakan teman kecilnya duduk, sementara ia sendiri berjalan ke belakang untuk meminta dibikinkan kopi dua gelas dan segera dibawa ke ruang tamu.
“Ngape ntu muke kusut?” Tanya temannya dengan nada berseloroh.
Baca: Berburu Mustika Bambu
Asri pun menceritakan kegelisahannya kepada teman kecilnya. Ewing demikian panggilan akrab dari teman kecilnya itu adalah sosok yang tak pernah serius dan selalu menganggap segala persoalan pasti ada jalan keluarnya.
Menanggapi persoalan Asri, dengan nada enteng ia pun menjawab; “Jaman udah berobah, lu kudu jualan pake onlen. Kuncinya, satu, masakan kudu enak dan berasa bumbunya, dua, lu kudu bisa nyajiin dengan pantes … tiru tuh gaya Jepang. Jadi diliatnya resep, nah kalo udah begitu harga bukan masalah”.
“Nah yang ketiga, lu kudu ikut dagang cara onlen. Suruh tuh si Didi anak lu daftar dan bikin aplikasinya, nah udah itu, banyak berdoa dah …”, tambahnya sambil menerima cangkir yang berisi kopi panas.
“Makanya sering-sering kemari, jadi bisa ngeliat. Apa yang Ente bilang udah ana kerjain. Udah ampir setaun lebih”, jawab Asri dengan nada jengkel.
“Nah lo …”, kata Ewing sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “nah terus rencana Ente ape”, sambungnya lagi.
“Jujur, gue inget cerita orang-orang tua, kalo mao jualan makanan mateng kita kudu nyimpen centong tiga randa. Dagangan bakal laris manis dan enggak bakalan bangkrut”, bisik Asri dengan nada yang serius.
“Ana juga denger kalo cerita ntu”, jawab Ewing sambil matanya melirik kesana-kemari seolah tengah berpikir keras.
“Rokok mana rokok”, kata Ewing, “Ana gak bisa mikir kalo enggak ngerokok”, lanjutnya.
Bersamaan dengan itu terdengar uluk salam dan masuklah Didi. Sambil mencium tangan Ewing, Didi menyerahkan dua bungkus rokok. Ewing pun mengucapkan terima kasih dan langsung menyobek bungkus dan mengambil sebatang, kemudian menghisapnya.
Baca: Cincin Keramat
Asri dan Ewing tenggelam dalam lamunan masing-masing, sementara, Didi kembali ke warung untuk membantu melani para pembeli dan pelanggan.
Tak lama kemudian, terdengar teriakan Ewing; “Ah … Ana inget sekarang. Mudah-mudahan ntu barang masih ada. Ente inget Nyak Rodiah kan?”
Ewing pun mengungkapkan cerita almarhum enyak (ibu-Btw) betapa Nyak Rodiah teman mengajinya semasa kecil sudah berbilang tahun tinggal bersama dengan dua adiknya yang janda — ketiganya adalah janda yang ditinggal mati oleh suami. Ketiganya yang kebetulan tidak memiliki keturunan hidup saling bantu. Mulanya, mereka berjualan nasi uduk. Karena masakannya tergolong enak, tak pelak, dagangannya pun laku keras. Namun karena usia terus bertambah dan kekuatan pun mulai berkurang, maka, ketiganya memutuskan untuk tidak lagi berdagang.
Kini, mereka hidup dari upah mencuci, menyetrika atau mengasuh anak tetangganya.
“Mudah-mudahan barang ntu masih ada. Nah … ayo dah kita ke sono”, ajak Ewing. Asri pun langsung berdiri dan tak lama kemudian, keduanya berboncengan menuju ke kampung sebelah.
Tiga puluh menit kemudian, keduanya berhenti di sebuah rumah berdinding papan dengan cat yang mulai kusam. Ewing pun lagsung uluk salam; “Assalamaulaikum …”.
“Waalaikumsalam … sape ye. Langsung aja masuk”, demikian terdengar suara dari dalam. Dan tak lama kemudian, keluar seorang wanita yang agak bungkuk namun gerakannya masih terlihat lincah.
Ewing langsung memperkenalkan diri. Nyak Rodiah berusaha mengingat-ingat , tak lama kemudian ia pun mengangguk-angguk. “Eh … lu anaknya Isah ye”.
Baca: Memilih Akik dan Batu Mulia Menurut Weton
Ewing mengangguk dan tak lama kemudian ia pun mengutarakan maksud kedatangannya. Nyak rodiah menceritakan bahwa centong yang merupakan peninggalan orang tuanya itu terbuat dari kayu kapuk yang pohonnya kebetulan tumbuh di tengah-tengah kuburan kober. Suatu hari, ketika pulang dari pasar sang ayah memungut ranting lumayan besar yang kebetulan patah, kemudian membuatnya menjadi centong dan sampai sekarang kadang masih ia gunakan untuk memasak.
Setelah sejenak terdiam, Nyak Rodiah yang mafhum atas keinginan tamunya tetap mengingatkan agar Ewing maupun Asri jangan sampai jatuh jadi syirik, sebab, centong tersebut hanya merupakan sarana. Semua itu dari Allah dan rezeki pun sudah ditentukan oleh-Nya, jadi, manusia hanya wajib berusaha dan berdoa.
Keduanya mengangguk tanda mengerti dan setuju. Ketika Ewing menanyakan maharnya, Nyak Rodiah hanya menjawab, “Selama kite betiga idup, tolong tiap hari anter makanan kemari. Jangan telat dan jangan enggak ye … terus jangan lupe sedekah”.
Baca: Khasiat Batu Akik Berdasarkan Warna
Asri setuju, dan Ewing pun mengingatkan agar sahabatnya jangan sampai ingkar sama janjinya. Setelah itu, dengan meninggalkan sejumlah uang untuk sekadar pegangan bagi Nyak Rodiah dan kedua adiknya, keduanya pun kembali ke rumah Asri.
Singkat kata, menginjak bulan kesembilan, cita-cita Asri benar-benar terwujud. Ia punya restoran besar dengan areal parkir yang luas dan tiap harinya selalu dipenuhi dengan mobil. Apakah ini karena ia menyimpan centong tiga randa? Hanya Allah yang tahu.