asd

Hadiah dari Penunggu Gaib Hutan Jati

Sepeninggal suaminya, dengan tanpa kenal lelah, mengeluh atau mengharapkan belas kasihan saudara, teman bahkan tetangganya, Surtini terus bekerja keras untuk menghidupi kedua buah hatinya dengan keringat dan rengkuhan kasih sayangnya ….
oleh: Surya Pinandita

 

Neomisteri – Kisahnya menggugah neomisteri untuk menuliskannya. Betapa tidak, dalam usia muda ia telah menjadi janda sekaligus tumpuan bagi Ninik (6 tahun) buah cintanya dengan Waluyo sang suami yang baru saja meninggal dunia akibat mengidap batuk yang berkepanjangan. Masih terngiang di telinga Surtini pesan almarhum suaminya dalam dialek dan bahasa Jawa yang kental dua hari sebelum ia meninggal dunia; “Bu … tolong besarkan Ninik, jangan sekali-kali utang atau meminta kepada siapa pun kecuali hanya kepada Gusti Allah”.

“Serahkan semua beban hidup kita kepada-Nya”, imbuhnya lagi.

Surtini hanya mengangguk lemah sambil sesekali mengelap keringat yang selalu mengucur deras di dahi suaminya dengan kain panjang sekaligus selimut yang selama ini dengan setia membungkus tubuh Waluyo yang semakin kurus bak tulang berbalut kulit.

Pagi itu, seisi Kampung Pasar Sore pun tampak lebih sibuk dari biasanya. Tak hanya penduduk, bahkan Kamituwo Dul yang bertugas membantu KADES tampak berada di tengah-tengah mereka. Ia pun menunjuk Pak Saleh, pemuka agama setempat untuk memulasara jenasah Waluyo yang baru saja meninggal, sedang beberapa lelaki tampak berjalan beriringan sambil membawa cangkul untuk menggali makam — dan di sebelah sana ibu-ibu menyiapkan kudapan untuk sarapan, sementara para remaja tampak membuat nisan dan yang perempuan sibuk meronce kembang.

Jauh sebelum zuhur tiba, pemakaman pun selesai. 

Sejak itu, Surtini pun harus bekerja membanting tulang demi menghidupi buah cintanya. Ia memegang teguh amanah almarhum suaminya. Boleh dikata, sejak pagi, tepatnya saat Ninik bersekolah, ia sudah berada di ladangnya yang tak seberapa luas itu. Lepas itu, jika masih ada waktu, Surtini pasti sudah berada di tengah-tengah rerimbunan hutan jati untuk mencari sesuatu yang dapat dijual atau dimasak untuk ia dan anaknya makan.

Hanya itu yang Surtini dapat lakukan untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Walau begitu, ia tetap berusaha tegar di depan putri kesayangannya.

Tanpa terasa, enam tahun sudah Surtini hidup menjanda. Kamituwo Dul dan banyak lagi yang lainnya menyarankan agar ia segera menikah lagi agar Ninik dapat lebih terperhatikan. Namun, dengan halus Surtini menjawab; “Baik … nanti saya pikirkan”.

Ilustrasi asap

Hari terus berganti, demikian juga minggu, bulan dan tahun.

Hari itu, Surtini ingat betul, sejak pagi tubuhnya terasa lunglai. Mulanya ia enggan untuk berangkat ke hutan mencari buah, umbi-umbian atau dedaunan. Tapi apa daya, jika tidak berangkat, maka, hari itu Ninik pasti tidak makan. Akhirnya, dengan langkah lunglai ia pun berangkat ke hutan. Kali ini, ia sengaja masuk agak lebih dalam lagi dengan harapan akan mendapatlan hasil yang lebih banyak dari biasanya.

Ia pun terus melangkah hingga tanpa sadar sampai di tepian mata air yang jernih dan tak seberapa luas. Surtini terpesona, ia sendiri yang dilahirkan di Kampung Sore tak pernah tahu atau mendengar cerita bahwa di tengah-tengah hutan jati itu terdapat mata air — suasana tenang dan damai yang menyergap relung hatinya, membuat dada Surtini terasa lega ….

Ia tersadar manakala telinganya menangkap suara ranting patah terinjak. Surtini langsung menoleh ke arah suara, matanya nanar, menatap tubuh nenek bungkuk yang rasanya ia pernah bersama dalam waktu yang lama — tapi ia sendiri tak pernah ingat kapan dan di mana mereka pernah bersama. Belum lagi ia membuka mulut, nenek bungkuk itu bergumam dan menebak isi hatinya.

“Aku adalah nenekmu. Bawa ini pulang dan jangan dibuka sebelum sampai di rumah”, katanya sambil memberikan bungkusan dari daun jati yang diikat dengan tali yang terbuat dari bambu.

“Ingat … ingat itu”, imbuhnya sambil memberikan isyarat agar Surtini untuk segera pulang.

“Mbah … dalem (saya-Jw) pamit”, kata Surtini sambil mencium tangan sang nenek.

Lepas itu, ia merasakan badannya terasa begitu segar dan telapak tangan kanannya pun menguarkan bau wangi yang teramat menyegarkan. Sesampainya di rumah, ia melihat Ninik tengah sibuk mengerjakan Pekerjaan Rumah. Biasa, tiap pulang sekolah, Ninik selalu membaca atau mengulang segala pelajarannya yang tadi ia dapatkan di sekolah.

Melihat kedatangan Surtini, Ninik langsung menghambur memeluk ibunya. Kali ini ia terkejut, betapa tidak, hidungnya mencium wewangian yang dirasa begitu menyegarkan. Surtini yang tanggap langsung mencertakan apa yang tadi dialaminya sambil menggamit tubuh anaknya masuk ke dalam. Keduanya langsung duduk di tepi balai dan tangan Surtini pun  langsung membuka bungkusan yang tadi dibawanya.

“Ah …”,   hanya itu yang terlontar dari mulut keduanya sambil saling pandang dan mengucek-ucek matanya.

Maklum, di depan mereka tampak bermacam jenis perhiasan yang terbuat dari emas. Setelah berhasil menguasai hati dan pikirannya, Surtini segera mengikat kembali perhiasan dan menyimpannya dengan rapi di bawah lemari pakaian yang telah usang sambil memberikan isyarat kepada Ninik agar merahasiakan hal tersebut. Setelah itu, keduanya kembali menyibukkan diri seolah tak ada sesuatu yang terjadi.

Malamnya, Surtini bermimpi didatangi sang nenek. Banyak pesan yang ia dapatkan. Intinya, Ninik selesai ujian ia harus secepat-cepatnya pindah agar hidup dan kehidupannya berubah. Saran sang nenek dipegangnya dengan sepenuh hati. Dan benar, usai Ninik selesai ujian, Surtini dan Ninik berangkat ke kota. Tujuannya jelas, ke Toko Emas yang ditunjukkan oleh sang nenek — di sana ia dan Ninik disambut dengan hangat oleh sang pemilik toko. Mereka berbincang dengan hangat seolah dua sahabat lama yang baru bertemu.

Singkat kata, hidup dan kehidupan Surtini dan Ninik pun berubah. Ia membeli rumah di pinggir jalan yang tergolong ramai — dan membuka warung makan. Itu semua berkat rida dan rahmat Allah yang mengabulkan lantunan doa yang selalu Surtini di sepertiga keheningan malam, sementara, sang nenek si penunggu gaib hutan jati hanyalah perantara belaka.

artikel terkait

Apa komentarmu?

Artikel Terbaru

ARTIKEL MENARIK LAINNYA

Monte Cristo, Rumah Paling Berhantu di Australia

Berbagai peristiwa supranatural ini kerap dikait-kaitkan dengan beberapa peristiwa tragis di masa lalu. Seperti insiden pembunuhan pengurus rumah pada tahun 1961 dan pemasungan seorang...

Jalur Perlintasan Lelembut

Pengembang tak pernah menyadari jika salah satu bagian dari komplek perumahan yang sedang mereka bangun di tengah hamparan tanah lapang itu adalah merupakan jalur...

Teror Palasik

Misteri Man of Etna

Artikel Terpopuler