Pengembang tak pernah menyadari jika salah satu bagian dari komplek perumahan yang sedang mereka bangun di tengah hamparan tanah lapang itu adalah merupakan jalur perlintasan lelembut ….
oleh: Arya Narasinghamurti
Neomisteri – Mas Arie tidak pernah merasakan suatu keanehan atau firasat apapun ketika membeli rumah di bilangan Jakarta Timur. Ia memang sengaja mengambil empat kapling — dua di depan dan dua bagian belakang — dengan harapan dapat membangun rumah sesuai dengan impiannya, di samping dapat menampung keluarganya bila mereka sengaja bertandang ke rumahnya.
Sebagai keluarga muda dengan seorang anak, Arie dan Nita berharap rumahnya nanti dapat menjadi tempat yang nyaman dan ideal bagi keluarganya. Selain kamar yang luas, menurutnya juga harus ada taman, kebun, tempat untuk bermain bahkan kolam renang.
Baca juga: Siluman Patung Kera
Setelah beberapa kali melakukan survei dan negosiasi desain, akhirnya, Mas Arie dan Nita sepakat untuk memilih lokasi tepat di tengah-tengah komplek perumahan. Hari itu juga pelbagai dokumen kepemilikan ditandatangani, dan setelah itu pembangunan pun langsung dilakukan. Di depan Mas Arie dan Nita, pihak developer berjanji, empat bulan ke depan, Mas Arie dan keluarga telah bisa menempati rumah baru idamannya.
Menginjak bulan ketiga, tak seperti biasanya, ketika Mas Arie sengaja datang untuk melihat perkembangan pembangunan para pekerja tampak panik dan saling pandang antara satu dengan lainnya. Mas Arie langsung curiga.
“Pasti ada yang tidak beres”, bisiknya dalam hati.
Karena semuanya menghindar, akhirnya, Mas Arie langsung mendatangi Pak Sumanta. Mandor paruh baya itu tak bisa mengelak. Ketika ditanyakan, ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Tak ada kata sepatah pun meluncur dari mulutnya, selain, menunjuk sayap kiri bangunan yang rencana bakal ruang kerja Mas Arie tak juga terselesaikan. Mas Arie hanya melihat pondasi dan bekas tembok yang hancur di sana-sini.
Dengan perasaan marah, Mas Arie langsung menuju ke kantor pemasaran. Di sana ia ditemui oleh Poltak, lelaki asal Medan yang mengaku merupakan koordinator para mandor di perumahan tersebut. Mas Arie langsung menceritakan apa yang barusan dilihat dan dirasakannya. Mendengar itu, Bang Poltak langsung saja menyahut; “Sebenarnya kami juga bingung. Sejak pembangunan pondasi, bagian itu selalu saja rusak. Siang dibangun, eh … malamnya pasti saja roboh dan berantakan”.
Mas Arie tak bisa berkata apa-apa selain mengingatkan agar pihak developer tidak ingkar janji. Empat bulan rumah sudah bisa ditempati. Bang Poltak hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kecut ….
Baca juga: Diganggu Hantu Menyeramkan di Basement
Karena rumahnya termasuk Blok I, maka, ia melihat hampir semua rumah sudah ditempati oleh para pemiliknya. Ia terpaksa harus berhenti, karena ada mobil yang mau keluar dari garasi rumah yang ada di sudut jalan. Mobil itu keluar dan langsung berbelok kemudian berhenti. Lelaki muda bercelana pendek dan Shirt warna biru turun dan menghampirinya.
“Rie …”, demikian kata lelaki itu.
“Eh … Bram”, teriak Mas Arie sambil menurunkan kaca jendela mobilnya sambil mengulurkan tangan.
Bram menjabat dengan hangat, kemudian ia pun bertanya; “Ngapain Lu kesini?”
“Gua beli rumah di sini. Lagi dibangun bentar lagi beres”, kata Mas Arie dengan cepat.
“Oh … ayo mampir bentar. Gua cuma mao isi bensin di depan”, kata Bram, “tapi … mobil Lu pinggirin biar enggak ngeganggu yang mau lewat”, tambahnya lagi sambil berjalan masuk dan duduk di teras rumahnya.
“Hallo … halllo tolong kopi hitam dua dong, ada tamu agung”, teriak Bram.
Baru saja Mas Arie duduk, dari dalam Tely, istri Bram keluar sambil membawa nampan berisi kopi panas. Sementara Erick, si kecil bergayut manja di kaki kanan Tely. Mereka pun saling bersalaman dan menanyakan kabar masing-masing. Ketika Mas Arie menerangjelaskan letak rumahnya, Bram dan Tely saling pandang dengan penuh arti. Mas Arie pun sontak bertanya; “Ada apaan sih. Tadi di sana gua juga dibikin bingung sama ulah pekerja yang setengahnya ketakutan”.
“Tenang … tenang”, kata Bram berusaha menenangkan sahabatnya.
Tak lama kemudian, Bram pun bercerita; menurut para pekerja, sayap kiri rumah itu, siang dibangun malamnya pasti roboh. Kejadian itu terus berulang sampai sekarang. Karena rumah dan pekarangannya terdiri dari empat kaveling, maka, banyak orang yang mengaitkan pemilik rumah itu pasti penganut Pesugihan Kandang Bubrah — artinya, agar tidak menjadi tumbal karena sudah memiliki kekayaan lebih dari cukup, jadi, keluarga tersebut harus menghancurkan sebagian rumahnya agar selalu kelihatan belum selesai.
“Wah … sialan. Padahal gua beli kontan biar anak istri nantinya enggak kebebanan utang. Eh … malah dibilang gua penganut pesugihan”, kata Mas Arie kecut.
“Oke … gua paham. Tar malem gua bakal kontak Pakde Pung, kakaknya bokap yang jago kebatinan di Solo”, kata Mas Arie sambil pamit pulang.
Bram dan Tely melepaskan Arie sampai ke pintu pagar.
Malamnya, Mas Arie menelepon Pakde Pung dan menceritakan apa yang terjadi dengan rumahnya. Pakde Pung hanya diam dan sesekali terdengar ia menghela napas panjang. Begitu Mas Arie menyudahi ceritanya, Pakde Pung menyahut; “Adakan selamatan dan katakan bahwa jalannya dipindah ke sebelah tembok ini. Setelah itu, kamu wajib memberikan makan empat puluh satu anak yatim atau lansia dan akan lebih baik jika tunanetra”.
“Selebihnya Pakde bantu dari Solo”, ujar Pakde Pung menutup pembicaraan.
Mas Arie pun mafhum. Esok pagi, ia sudah mendatangi Pak Sumanta untuk mengabarkan bahwa siang ini akan diadakan selamatan. Pak Sumanta diminta untuk mengumpulkan pekerja secukupnya serta alim ulama untuk membaca doa.
Benar saja, setelah selamatan, pembangunan rumah Mas Arie pun berlanjut bahkan selesai sepuluh hari sebelum jatuh tempo perjanjian. Kini, jika kedua sahabat itu bertemu, Bram biasanya langsung berseloroh sambil berbisik;
“Ternyata gua punya tetangga penganut pesugihan Kandang Bubrah”.
Mas Arie hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menyahut; “Kampret Lu!”