Sebagai manusia turunan Sanghyang, maka, orang-orang tertentu di pelbagai daerah yang pernah disinggahi Mbah Kuwu Sangkan dalam melakukan syiar Islam sampai sekarang masih banyak yang mengaku pernah bertemu dengan sosok linuwih yang satu ini ….
oleh: Arya S. Adijaya
Neomisteri – Tak ada yang dapat menepis, penyebaran Islam di Tatar Cirebon tidak dapat lepas dari Pangeran Walangsungsang yang akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon yang tak lain adalah putra sulung dari Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subang Larang.
Sampai sekarang, kekeramatan sosok yang satu ini seolah tak lekang dimakan zaman. Di samping makamnya terdapat di Gunung Sembung, petilasannya juga terdapat di mana-mana, di antaranya di Tanah Dieng, Jawa Tengah. Sejatinya hal itu wajar, ia menjadi Kuwu II Cerbon sebelum usianya genap 17 tahun karena terusir dari Kerajaan Pajajaran karena ia dan sang adik, Nyimas Rara Santang dan Kian Santang memeluk agama wahyu, Islam.
Tidak cukup sampai di situ, ia yang kala itu belum genap 22 tahun menjadi raja di Kerajaan Caruban atau Cirebon selama 38 tahun. Boleh dikata, dalam sejarah Islam di Jawa Barat, Mbah Kuwu Sangkan dikenal sebagai raja yang kuat.
Dalam pengembaraannya (karena terusir dari Kerajaan Pajajaran), Pangeran Walangsungsang sampai di Alas Banten, tepatnya, di wilayah yang sekarang didiami suku Baduy. Banyak orang beranggapan, suku Baduy adalah keturunan dari Pangeran Walangsungsang. Setelah menetap cukup lama di Alas Banten, akhirnya, ia menemui Ki Gede Danuwarsi di Gadog, Garut, yang merupakan penasehat Kerajaan Garut.
Di tempat Ki Gede Danuwarsi, selain berguru, Pangeran Walangsungsang juga dinikahkan dengan putri tunggal gurunya, Nyai Endang Geulis. Dari pernikahan ini, lahir seorang putri yang diberi nama Dewi Pakungwati.
Setelah dirasa cukup dan untuk menyempurnakan ilmu agama, Sanghyang Danuarsi meminta agar Pangeran Walangsungsang untuk menemui Syekh Dzatul Kahfi atau Syekh Nurjati di Amparan Jati atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gunung Jati. Lepas berguru dengan Syekh Nurjati, ia pun diminta untuk menunaikan ibadah haji dan mendapatkan gelar Syekh Mursyahadatillah atau Somadullah.
Sekembalinya dari menunaikan ibadah haji, Syekh Mursyahadatillah atau Somadullah bertemu dengan gurunya Syekh Bayanullah yang memberikan nama atau gelar Haji Abdul Iman. Selanjutnya, ia pun kembali ke Kampung Girang untuk melakukan syiar Islam di sana. Adapun, bangunan makam, dahulunya adalah merupakan rumah dari Mbah Kuwu Sangkan, gelar yang didapat ketika ia memangku jabatan sebagai Kuwu II Cerbon dan abadi sampai sekarang.
Sejatinya, puncaknya terjadi ketika ia menjadi raja pertama di Kerajaan Cirebon yang kala itu berada di bawah Kerajaan Galuh. Sejak itu, ia memiliki kekuatan untuk memperluas syiar Islamnya. Dari proses dakwah tersebut, wilayah Keraton Cirebon menjadi satu antara bagian utara dan selatan, antara Cirebon dan Banten. Kemudian, Ibu Kota Kerajaan Cirebon dipindahkan ke Lemah Wungkuk. Di sana kemudian didirikan keraton baru yang dikenal dengan Keraton Pakungwati.
Dari beberapa sumber yang berhasil dihimpun menyebutkan bahwa pendiri Keraton Cirebon adalah Pangeran Cakrabuywana, sementara, yang berhasil meningkatkan menjadi kesultanan adalah Syekh Syarif Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung Jati.
Pada masa hidup, Mbah Kuwu memiliki dua orang istri; yakni Nyai Endang Geulis yang dianugerahi putri yang diberi nama Nyai Pakungwati kelak menjadi salah satu pendamping dari Syekh Syarif Hidayatullah yang tidak lain merupakan putra dari Nyai Rara Santang, adik Mbah Kuwu Sangkan. Sementara dari pernikahannya dengan Nyai Ratna Lilis ia dikarunai seorang putra yang bernama Pangeran Abdurrokhman.
Menurut beberapa catatan sejarah, Mbah Kuwu Sangkan ternyata memiliki beberapa binatang klangenan (menyukai) di antaranya Kucing Candra Mawa, Macan Samba, dan Kebo Dongkol Bule Karone. Banyak yang meyakini, ketiga jenis binatang tersebut sudah punah. Namun karena kesetiaannya, ketiga jenis binatang tersebut sampai sekarang masih menjaga Mbah Kuwu Sangkan dan diabadikan dalam bentuk patung yang ada di sekitar lokasi makam.
Berkait dengan yang tersebut di atas, yang paling menarik tentang Mbah Kuwu Sangkan adalah sampai sekarang sosok yang satu ini masih acap napak tilas ke pelbagai tempat yang dahulu didatangi untuk melakukan syiar Islam, di antaranya Bogor, Banten, Garut, Sumedang, Subang, Indramayu bahkan Pulau Madura. Kebanyakan yang bertemu dengan yakin menyatakan; “Baru saja bertemu dengan Mbah Kuwu Sangkan.”
Bahkan tak jarang, ada yang mengaku mendapatkan amalan-amalan khusus dan tata cara membaca atau melakukan puasa dari Mbah Kuwu Sangkan agar hajatnya segera terkabul, atau, mendapatkan benda-benda pusaka dengan berbagai bentuk.
Hal itu wajar, karena, kebanyakan waskita menyadari, Mbah Kuwu Sangkan Cirebon sebagai manusia turun Sanghyang tidak akan wafat sampai hari kiamat, mereka adalah pewaris ilmu manusia sejati nu sejati, asli, bukti, jumeneng langgeng sampurna jaya, jaya sampurna suatu ilmu yang hanya dikuasai oleh beberapa manusia pilihan. Hal itu selaras dengan Kitab Carub Kanda Carang Seket yang menyuratkan bahwa, Putra Galuh bisa sakit tidak bisa mati, dan menjadi saki serta pelaku sejarah.
————-
Dari berbagai sumber terpilih