Kekuatan cinta sepasang anak manusia yang tak mendapatkan restu dari orang tua, pada akhirnya terus berlanjut lewat alam gaib ….
oleh: Arif Samhudi
Neomisteri – Hatta, pada suatu zaman, Ki Bahurekso yang merupakan Bupati Kendal pertama menikah dengan Dewi Rantamsari yang pada akhirnya lebih dikenal sebagai Dewi Lanjar. Dalam mengarungi bahtera hidup dan kehidupan, keduanya tampak harmonis dan dikaruniai seorang putra Raden Sulandono.
Baca: Kutukan Tumbal Proyek di Balik Keindahan Kastil Maruoka
Walau merupakan putra seorang bupati, namun, Raden Sulandono tidak memiliki watak yang angkuh dan sombong. Ia bahkan dikenal dengan rakyat. Tak hanya di kabupaten, tempat kediamannya, kala itu, masyarakat Kendal dapat menemui, berbincang dan bermain dengannya disembarang tempat.
Itu semua adalah berkat asuhan arif kedua orang tuanya.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, pada suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan ke Desa Kalisalak, Raden Sulandono bertemu dengan salah seorang penari rupawan yang bernama Sulasih. Cinta langsung bertaut pada pandangan pertama — dan terus berlanjut pada pertemuan-pertemuan berikutnya.
Tapi apa daya, cinta keduanya yang sudah demikian besar terhalang restu dari Ki Bahurekso, orang tua Raden Sulandono. Sang ibu yang memahami perasaan Raden Sulandono berusaha menolong sang buah hati dengan memberikan saran agar ia pergi ke suatu tempat untuk menjalankan tapa brata sampai mendapatkan petunjuk. Sementara, sambil membawa perasaannya yang tidak menentu, Sulasih pun terus menari, menari dan menari ….
Ia berharap, dengan menari, segala kegundahan hatinya dapat terobati ….
Ikatan batin yang demikian kuat antara sang ibu dengan anaknya, membuat Dewi Rantamsari langsung bertindak. Ia benar-benar tak sampai hati mendengar keluh kesah Raden Sulandono, anak kesayangannya.
Baca: Kuntilanak di Studio Alam TVRI
Lewat kekuatan batin yang dimilikinya, akhirnya, ia memasukkan tubuh halus bidadari ke tubuh Sulasih yang sedang menari, bersamaan dengan itu, badan halus Dewi Rantamsari memanggil Raden Sulandono yang sedang bertapa untuk segera menemui sang kekasih. Hingga terjadilah pertemuan antara sepasang kekasih di dunia nyata.
Yang paling unik adalah, sampai sekarang, percintaan itu terus belanjut. Hal ini tampak dengan jelas pada tarian Sintren yang masih lestari di beberapa daerah di Pulau Jawa; khususnya Cirebon — Indramayu, Subang utara, Majalengka, Pekalongan, Kuningan, Pemalang, Brebes, Tegal dan sekitaran Banyumas.
Tarian ini juga terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain, Indramayu, Cirebon, Subang utara, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Tegal, Banyumas, Kuningan, dan Pekalongan.
Dalam setiap pagelaran, di depan para nayaga (penabuh gamelan-red) dapat dipastikan terdapat sebuah kurungan ayam yang telah dibalut dengan kain merah, sementara, di sebelahnya duduk seorang gadis mengenakan pakaian biasa dan tanpa riasan (make up-red). Gadis itu hanya diam, tak berani bergerak bebas. Pandangannya jauh ke depan seolah menunggu apa yang bakal terjadi dengan dirinya.
Baca: Teke Teke, Urban Legend Menyeramkan dari Jepang
Suasana berubah seiring dengan terdengarnya suara musik berirama slendro yang mengundang agar penonton segera datang, sementara, aroma kemenyan seolah tak pernah putus terus membubung ke angkasa. Setelah waktunya dianggap tepat, seorang lelaki paruh baya mendatangi sang gadis yang sejak tadi hanya duduk diam, mengikat tangannya dengan tali dan memasukkannya ke dalam kurungan berbalut kain merah — kemudian, ia pun berkomat-kamit membaca mantera.
Beberapa saat kemudian, bersamaan dengan diangkatnya kurungan,tampak sang gadis yang mulanya berpakaian apa adanya dan tanpa make up, kini berubah, ia telah mengenakan pakaian penari lengkap dengan selendang kuning di dadanya. Bahkan tangannya telah bebas dari ikatan.
Bagi masyarakat yang biasa menyaksikan pagelaran Tarian Sintren, kenyataan tersebut bukan merupakan sesuatu yang mengejutkan.
“Itu hal biasa”, demikian ungkap Anan (45 tahun) dengan sialek Cirebon yang kental, “bole dikata, Sintren tidak bisa dipisahkan dengan magis. Dan itu memang sudah turun temurun”, lanjutnya lagi.
“Lalu, penarinya?” Potong neomisteri cepat.
“Penari harus benar-benar gadis yang masih suci”, jawabnya, “sementara, empat lainnya adalah merupakan pendamping atau dayang”, lanjutnya.
Neomisteri pun mengangguk. Di depan sana, tampak sang penari dengan gemulai meliukkan tubuh dan tangan mengikuti irama musik. Ya … ia telah kerasukan badan halus bidadari. Inilah salah satu kelebihan dari Tarian Sintren, salah satu jenis tarian tradisional Nusantara yang tentunya sangat layak untuk dilestarikan.