Mbak Dian mulai frustasi, ia benar-benar tak pernah menyangka, warung bakso yang mulanya selalu dipenuhi pembeli terutama anak-anak sekolah dan ibu-ibu muda kini mulai berkurang bahkan praktis mulai sepi ….
oleh: Ayu Andira
Neomisteri – Sudah hampir dua bulan ini, Mbak Dian selalu saja mengeluh. Maklum, perlahan tetapi pasti, ia sudah mulai menggunakan tabungan anak-anaknya untuk keperluan warung bakso yang selama ini menjadi sandaran hidup dan kehidupan keluarganya sejak sang suami meninggal dunia setahun lalu.
Sekali ini, boleh dikata ia mulai frustasi. Tak hanya keluarga, bahjan beberapa sahabat dekatnya juga menyarankan agar ia ke orang pintar untuk menanyakan penyebab dari sepinya warung bakso miliknya. “Ah … aku enggak yakin mereka bisa kasih jalan keluar”, kata Mbak Dian dengan nada ketus.
Semua sangat mafhum dengan sikap Mbak Dian. Ia benar-benar trauma dengan orang pintar, maklum, Mas Ilo menjatuhkan talak tiga kepadanya akibat kepincut sama salah seorang paranormal wanita yang mengaku mampu membuat warung baksonya ramai dan bahkan menarik harta karun yang terpendam di dalam tanah dengan persyaratan tertentu — sejak pertemuan itu, jangankan menjaga warung atau pulang ke rumah, Mas Ilo lebih banyak tinggal di sana dan akhirnya menikah dengan sang paranormal.
Ia pulang ke rumah hanya untuk mengatakan satu kata di depan pintu warung baksonya; “Enggak usah cari atau ngurus aku lagi. Aku ceraikan kamu dengan talak tiga”.
Mbak Dian hanya terdiam. Ia tak menyangka bakal seperti itu yang terjadi. Setelah ditelisik lebih dalam lagi, ternyata, Mas Ilo dengan beberapa sahabatnya sedang mengumpulkan dana yang lumayan besar untuk mengangkat “harta amanah” yang terpendam di kaki Gunung Salak.
Waktu terus berlalu, tanpa terasa, tiga tahun sudah Mbak Dian dengan ditemani anak semata wayangnya, Arie, mengurus warung baksonya. Hingga pada suatu pagi, ada seorang lelaki mengabarkan bahwa suaminya, Mas Ilo meninggal dunia akibat sakit jantung di rumah kontrakannya — menurut para tetangga, Mas Ilo sudah tiga bulan tinggal di situ seorang diri. Istrinya yang paranormal kabur dengan lelaki yang lebih muda dengan meninggalkan utang yang menggunung. Sementara, “harta amanah” hanya tinggal impian. Tak ada yang pernah berhasil menemukannya ….
Mulanya Mbak Dian enggan terlibat, namun, begitu melihat wajah Arie, anaknya, ia pun melupakan segala sakit hatinya. Ia bertekad untuk memakamkan jenazah ayah dari anaknya itu dengan sebaik-baiknya. Semua ia lakukan dengan ikhlas walau banyak sahabat dan keluarga yang melarangnya dengan mengatakan; “Itu sudah bukan tanggung jawabmu”.
Arie yang mengetahui kejadian itu hanya bisa menangis. Ia kagum dan bangga pada ibunya yang mempunyai hati demikian mulia ….
Sore itu, sambil mengenang peristiwa pahit dan manis yang telkah dilaluinya, Mbak Dian tersentak. Betapa tidak, seorang pemuda berbaju kumal dengan tubuh penuh tato mendatangi sambil berkata dengan santun; “Ibu … saya sangat lapar, tapi, tidak punya uang. Boleh saya minta semangkuk bakso”.
“Baik … saya buatkan. Tapi, silakan ke belakang dulu untuk mencuci tangan”, kata Mbak Dian sambil tersenyum. Entah kenapa, ia tak kuasa menolak permintaan lelaki kumal yang ada di depannya.
“Baik Ibu”, kata si lelaki itu sambil berjalan ke ruang belakang.
Tak lama kemudian, dengan wajah sumringah, lelaki itu telah duduk dan Mbak Dian pun meletakkan semangkuk bakso dan segelas teh manis panas.
“Silakan dimakan”, kata Mbak Dian dengan lembut.
“Alhamdulillah ya Allah … berkat Surat Yasin yang selalu hamba amalkan, maka, hamba tak pernah merasa takut kelaparan atau kekurangan. Terima kasih ya Allah …”, kata lelaki itu sambil menengadahkan tangannya ke atas.
Mbak Dian tak jadi duduk. Ia berdiri sambil memegangi nampan dan memperhatikan si lelaki dengan tatapan kagum. Tanpa sadar Mbak Dian berjalan mendekati si lelaki sambil bertanya; “Apa yang tadi Mas katakan?”
Sambil menikmati bakso yang tersaji di depannya dan sesekali menyeruput teh manis yang mulai hangat, lelaki itu bercerita; dulu, ia sangat kesulitan untuk mendapatkan sesuap nasi. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan lelaki paruh baya yang mengajaknya makan sate kambing. Sambil menikmati makanan yang tersaji di depannya, lelaki paruh baya yang punya wajah begitu terang berkata; “Sebenarnya, hidup ini nikmat jika kita tahu rahasianya”.
Allah menciptakan makhluk beserta dengan rezekinya, oleh sebab itu, jangan haran jika burung yang tak pernah menanam padi tapi bisa menikmati gabah — begitu juga manusia, jika ia mau menjalankan perintahnya dengan tidak lupa mendirikan salat, selalu dalam keadaan wudu dan selalu mewiridkan;
Bismillahirrahmanirrahim, Yaa-Siiin, Wal-Qur-aanil-Hakiim, Innaka laminal mursaliin, ‘Alaa Siraatim Mustaqiim, Tanziilal ‘Aziizir Rahiim, Litunzira qawmam maaa unzira aabaaa’uhum fahum ghaafiluun. Aamiin.
Dengan mewiridkan sebanyak-banyaknya, sudah barang tentu dengan hitungan ganjil dan tubuh dalam keadaan wudu, Insya Allah, segala hajat dikabul oleh Allah. Demikian papar si lelaki itu panjang lebar. Mbak Dian baru tersadar ketika lelaki itu telah lenyap dari pandangan matanya.
Sejak itu, Mbak Dian pun mengamalkan apa yang diceritakan lelaki yang pernah datang ke warungnya itu. Hasilnya benar-benar luar biasa, perlahan namun pasti, warung baksonya kembali ramai bahkan lebih ramai dari yang dulu. Kini, tiap Jumat, Mbak Dian selalu bersedekah dengan cara menyediakan bakso gratis bagi yang menginginkan atau membutuhkannya ….
Ketika keluarga dan para sahabatnya menanyakan bagaimana bisa seperti itu, Mbak Dian dengan mantap menjawab; “Bersyukur dan selalu meminta kepada-Nya”.
Semua yang mendengar hanya bisa tersenyum ….