Walau terlahir sebagai anak dari orang yang terpandang, bekas lurah, namun, sebagaimana lazimnya lelaki Betawi, sejak kecil, ia telah dibekali dengan ilmu agama, ilmu pengetahuan dan juga ilmu beladiri ….
Oleh: Surya Puja Nagara
Neomisteri – Macan Kemayoran merupakan suatu kata yang melekat dan tak terpisahkan dengan Klub Sepak Bola Persija. Suatu klub sepak bola yang menjadi kebanggaan anak-anak ibu kota dan sekitarnya.
Jika ditelisik lebih dalam, ternyata, Macan Kemayoran tak lain adalah julukan yang diberikan kepada Murtado, salah seorang anak mantan lurah yang lahir pada 1869. Asuhan arif sang ayah membuatnya tumbuh menjadi pemuda yang tidak sombong, berhati lembut kepada yang lebih muda dan santun kepada yang lebih tua, serta selalu siap menolong orang yang tengah mendapatkan kesusahan.
Kala itu, situasi keamanan di bilangan Kemayoran terasa mencekam. Betapa tidak, alih-alih jadi pelindung, Kompeni Belanda yang merupakan penguasa bahkan terlibat langsung dalam menyengsarakan hidup dan kehidupan rakyat lewat berbagai macam pungutan pajak — ditambah golongan China juga memungut sewa tanah atau sawah dengan harga yang semena-mena — dan pribumi penjilat lewat centeng-centeng mereka
Akibatnya, kebanyakan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan.
Rusendall, demikian nama penguasa Kemayoran kala itu, memanfaatkan Bek Lihun yang selanjutnya melimpahkan pekerjaannya untuk memeras rakyat kepada Mandor Bacan. Keduanya demikian bengis dan kejam. Dengan seenak perutnya, keduanya memaki, memukul bahkan membunuh atau memperkosa wanita jika keluarganya tidak dapat membayar pajak yang telah ditentukan.
Saat panen tiba, diadakan upacara potong padi sebagaimana tradisi yang sudah berjalan selama ini. Izin diberikan oleh sang penguasa dengan syarat, tiap lima ikat padi, satu ikat untuk pemotong sedang empat sisanya untuk Kompeni.
Di tengah-tengah upacara berlangsung, muncul seorang gadis. Sontak, Mandor Bacan pun dengan suara keras menegur; “Hai … cantik. Jangan curang, ikatan padi lu kegedean!”
Murtado yang ada di tengah-tengah itu langsung mencoba menengahi dengan santun. Tapi apa daya, Mandor Bacan yang kepalang marah langsung saja mengayunkan pukulan ke wajahnya.
Murtado masih berusaha tenang dan terus mengelak. Akhirnya, kesabaran Murtado pun habis. Seiring dengan pukulan Mandor Bacan yang mengarah ke dadanya, Murtado pun memiringkan tubuh dan mengayunkan sikunya mengarah tepat ke wajah lawananya. Tanpa ampun, Mandor Bacan jatuh terguling dengan wajah yang berlumuran darah. Dan tanpa menunggu waktu lagi, ia pun berlari untuk mengadukan kejadian yang baru saja dialaminya kepada Bek Lihun.
Mendapat laporan dari begundalnya, Bek Lihun pun mencari Murtado.
Keduanya langsung saja terlibat dalam suatu perkelahian yang sengit. Karena terus terkena pukulan, Bek Lihun pun langsung menghunus goloknya. Ia langsung menyebetkan goloknya dengan membabi buta. Sekali ini Murtado kehilangan kesabarannya. Ia berhasil menangkap tangan Bek Lihun yang memegang golok dan menyapu kaki sang jagoan secara bersamaan.
Tanpa ampun, tubuh Bek Lihun pun terpelanting.
Murtado hanya tersenyum dingin dan berlalu meninggalkan tempat itu.
Rasa malu yang membuncah di dalam hatinya langsung membuahkan dendam. Bek Lihun bertekad untuk menghilangkan Murtado agar tidak mengganggunya lagi ….
Namun apa daya, Murtado tetap saja tidak berhasil disentuhnya. Hingga akhirnya, Bek Lihun menyerah dan meminta bantuan Murtado untuk menghadapi gerombolan perampok di bawah pimpinan Warsa yang mulai mengganas di Kemayoran.
Murtado pun setuju. Bersama dua sahabatnya yang bernama Saomin dan Sarpin, Murtado mendatangi markas perampok yang berada di bilangan Karawang. Warsa dan teman-temannya yang memang sudah menunggu kedatangan ketiganya, langsung menyambutnya dengan serangan-serangan yang demikian sengit.
Pertarungan yang tidak seimbang pun terjadi. Berkat lindungan Allah, Murtado dan kedua sahabatnya berhasil mengalahkan para gerombolan perampok. Bahkan, Warsa sendiri tewas di dalam pertarungan itu. Ketiganya langsung mengambil berbagai barang jarahan yang ada, dan mengembalikannya kepada yang berhak.
Semua warga Kemayoran menyambutnya dengan gembira. Mereka berterima kasih dan merasa berhutang budi pada Murtado.
Walau begitu, Murtado yang meninggal pada 1959 di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, lebih memilih untuk tetap sebagai masyarakat biasa, walau, ia ikut bertanggungjawab terhadap keamanan kampungnya, serta, dengan caranya berusaha membebaskan rakyat dari belenggu penjajah dan kemiskinan.
——————
Disarikan dari berbagai sumber terpilih