Hampir tiap malam, Muchtar, istri bahkan kuli yang pernah membangun rumahnya selalu mendapat mimpi yang sama; seorang lelaki paruh baya berbadan tegap datang sambil mengancam agar dalam waktu dekat dibawakan empat pasang rajungan ….
oleh: Opick Suaib
Neomisteri – Kisah yang teramat muskil ini neomisteri dapatkan ketika tengah asyik menyesap lemon tea hangat di sebuah rumah yang terletak di bilangan Cirendeu, Tangerang Selatan. Ewing, demikian sapaan akrab lelaki itu menceritakan pengalamannya waktu ia sering diajak oleh kalangan tertentu untuk mencari pelbagai jenis barang-barang yang tergolong antik bahkan langka.
“Pernah berhasil?” Tanya neomisteri.
“Sebenernya, kalo barang begitu banyak yang mao beli”, jawabnya dengan dialek Betawi yang kental, “tapi … yang bayar enggak pernah ada”, sambungnya lahgi sambil tersenyum kecut.
“Mungkin belon rejeki saya”, imbuhnya lagi.
Kami semua yang mendengar pun hanya bisa tersenyum penuh arti …
Pada pertengahan 2010, ia pernah mendatangi salah satu rumah di daerah Tangerang Selatan. Setelah uluk salam dan mendapatkan jawaban serta pintu rumah terbuka, ia sangat terkejut. Betapa tidak, ternyata, sang pemilik rumah adalah salah seorang sahabatnya ketika kecil. Ya … mereka sama-sama lahir dan dibesarkan di seputaran Lebak Bulus.
Baca: Kutukan Tumbal Proyek di Balik Keindahan Kastil Maruoka
Pertemuan yang tak disangka-sangka itu membuat keduanya sangat gembira. Setelah sejenak menanyakan kabar masing-masing, Muchtar, si pemilik rumah langsung menanyakan maksud dan kedatangan sahabatnya.
Ewing langsung saja menjawab; “Mau nyari samurai … eh … katana”.
Muchtar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak lama kemudian, terdengar katanya lirih; “Bukan gua enggak mao maharin, rasanya, warisan Batua (Baba Tua-Btw) Jalu ogah pindah tangan. Nah … sekarang barangnya juga udah enggak dimari. Gua simpen jauh … gua udah capek. Banyak nyang dateng tapi pada cuman mao ngliat doangan”.
Ewing berusaha meyakinkan sahabatnya. Tapi apa daya, Muchtar hanya mengeluarkan foto yang sudah berbingkai dan memperlihatkan kepadanya . “Barangnya kayak gini”, katanya datar.
Komentar pun terdengar di sana-sini. Namun, Muchtar tidak juga bergeming. Ia bertahan untuk merawat katana yang katanya merupakan pemberian gaib dari Batua Jalu ….
Peristiwa tersebut bermula ketika ia membangun rumah yang kini ditempatinya. Mulai penggalian tanah untuk pondasi sampai dengan selesai dan ditempati, salah seorang kuli selalu saja bermimpi didatangi oleh seorang lelaki berbadan tegap berwajah bersih dan meninggalkan pesan yang sama; “Cariin empat pasang rajungan idup, dan bawa ke sini”.
Namun, sampai pembangunan selesai, sang kuli tak pernah berhasil mendapatkannya. Anehnya, mimpi tersebut berlanjut kepada Muchtar dan Neni, sang istri, ketika keduanya mulai tinggal di rumah tersebut.
Mulanya keduanya mengganggap mimpi tersebut sebagai bunga tidur, namun, setelah hampir sebulan selalu mendapatkan mimpi yang sama … akhirnya, kegelisahan pun mulai mengusik relung hati masing-masing — yang mereka takutkan adalah jika sosok gaib yang selalu datang itu mulai mengganggu sang buah cinta, si kembar yang cantik dan lincah yang mereka beri nama Sinta dan Santi.
Karena tak tahan terhadap “teror mimpi” yang terus menerus datang, akhirnya, Muchtar nekat berangkat ke Pelabuhan Muara Baru. Beruntung, ia bertemu dengan nelayan yang sedang duduk melamun di perahunya. Maklum, Ali demikian sapaan akrab lelaki paruh baya itu sudah dua hari praktis tidak pernah mendapatkan hasil yang memadai.
Mulanya, sang nelayan menolak, tapi, Muchtar berkeras hati. Sambil menyerahkan sejumlah uang sekitar Rp. 1.500.000,00 dan kartu nama, ia pun berkata; “Tolong besok bawain empat pasang rajungan idup ke rumah. Ini alamatnya”.
Sang nelayan tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya menatap laut yang luas dan berjalan pulang untuk menyerahkan uang tersebut untuk keluarganya. Ia hanya bisa menjeritan doa semoga esok mendapatkan tangkapan yang banyak sebagai pengganti uang yang tradi diterimanya — maklum, ia tak merasa yakin bisa membawa rajungan dalam keadaan hidup ke rumah Muchtar.
Esoknya, cuaca benar-benar tak bersahabat. Angin begitu kencang sehingga banyak nelayan tak berani melaut. Lepas mendirikan salat Ashar, Ali tiba-tiba melihat sekumpulan anak rajungan kecil terbawa arus ke tepian. Bergegas ia mengambil kotak styrofoam yang biasa dipakai untuk membawa ikan-ikan segar hasil tangkapannya. Dengan hati-hati, ia menyerok anak-anak rajungan itu beserta dengan pasir dan air laut kemudian memasukkannya ke dalam kotak styrofoam.
Tak berapa lama kemudian, ia sudah naik Angkot KWK U 11 yang sengaja dicarter menuju ke rumah Muchtar. Singkat kata, menjelang Maghrib ia sudah tiba di rumah Muchtar. Setelah menyerahkan apa yang didapatnya, ternyata, cukup banyak anak rajungan yang mati. Ali mulai gelisah, seketika Muchtar pun mulai menghitung dalam hati. Ada 8 (delapan) yang hidup.
Dengan harap-harap cemas, ia pun menghaturkan terima kasih kepada Ali yang sudah mohon diri untuk pulang. Muchtar pun tak mampu menahannya.
Baca: Petaka Ilmu Langkah Manis
Tak seperti biasanya, malam itu, lepas mendirikan salat Isya, Muchtar, Neni dan kedua buah cintanya langsung tidur dan bermimpi didatangi Batua Jalu dengan wajah yang sumringah berkata; “Tukerannya ada di meja”.
Paginya, seperti biasa, usai mendirikan salat Subuh, Muchtar pun berjalan ke ruang tamu. Ia tergugu, maklum, di atas meja, tepatnya di sebelah kota styrofoam terdapat empat pasang pedang panjang dan pendek yang oleh kebanyakan orang disebut samurai. Tiga pasang memiliki bilah agar kotor, mungkin, pernah dipakai untuk membunuh — sementara yang sepasang dalam keadaan bersih.
Kini, mimpi itu tak lagi datang, dan keempat pasang Daisho, yang merupakan singkatan dari Daito, pedang besar atau panjang, dan Shoto, pedang pendek sudah berada di tangan yang tepat dan tersmpan dengan apik dan rapi di salah satu rumah keluarganya.