Sekali ini Ridwan tak mungkin lagi dapat menghindar, ia tersudut di jalan buntu dan di antara orang-orang yang berniat untuk menghabisi dan mengambil motor barunya ….
Oleh: Andrika S
Neomisteri – KANSAS (Kantin Sastra-pen) demikian sebutan para mahasiswa adalah tempat yang tergolong tidak pernah sepi. Maklum, selain masakannya enak, harganya juga tidak membuat kantong jebol. Itulah sebabnya, sejak pagi, biasanya mulai pukul 07.30 sampai dengan 20.00 WIB selalu ramai.
Pelbagai cerita, mulai dari susahnya menangkap penjelasan dosen, soal yang rumit, sampai dengan cinta dan kegiatan organisasi kemahasiswaan selalu jadi ajang pembicaraan yang hangat di tempat ini.
Suasana akan bertambah ramai jika Ridwan biasa disapa Iwan dan teman-temannya, Martin, Udin, Aji serta Dodo dan Uli mulai berkumpul. Celoteh mereka selalu saja membuat orang tertawa terpingkal-pingkal ….
Martin yang terkenal paling banyak omong, sekali ini langsung saja berkata; “Wan … begitu deket ma Ida, sekarang lu mulai rapi yaaa …”
“Ida padahal enggak matre,” sahut Dodo cepat. “Tapi Iwan pengen dibilang laki-laki sejati,” tambahnya lagi.
“Bukan cuma pakean, motornya juga baru,” timpal Aji.
“Preeet,” sahut Iwan dengan nada sengit. “Gua enggak kuat beli baru, yang lama gua jual trus gua nambah dikit beli yang seken,” tambahnya sambil senyum kecut.
“Mantep …,” kata Udin. “Tapi ati-ati, daerah rumah Ida masih rawan. Maklum, sebelon sampe rumahnya, kita harus lewat tanah kosong sama empang-empang,” imbuhnya mengingatkan.
“Kecil,” kata Uli yang sejak tadi asyik dengan rokoknya. “Iwan asli kulon”, sambungnya.
Semua mengangguk tanda sepakat dan mengerti, selanjutnya, mereka tenggelam dalam perdebatan seru tentang acara yang bakal dilakukan oleh UKM Pecinta Alam sehubungan dengan penerimaan anggota baru. Tujuannya adalah Desa Malasari yang termasuk dalam Kawasan Gunung Halimun. Pada kesempatan itu, Iwan dan Ida ditunjuk sebagai team advance.
Iwan dan Ida langsung menyusun rencana untuk berangkat. Keduanya sepakat, Sabtu, lepas kuliah terakhir keduanya akan ke lokasi dengan naik motor.
Agaknya, karena malam libur, maka, jalan raya begitu macet. Iwan dan Ida pun memutuskan lewat jalan alternatif dengan harapan tidak begitu macet. Tapi apa daya, kali ini, semua jalan praktis mengular.
Akibatnya, berdasarkan arahan dari pemuda-pemuda yang turut mengatur jalan sekaligus mengais rezeki dadakan, Iwan dan Ida terpaksa melewati jalan yang belum dikenal bahkan belum pernah dilaluinya sama sekali.
Tanpa sadar, senja pun turun. Iwan dan Ida yang terus berusaha mencari jalan akhirnya terjebak di antara sawah-sawah yang agak gelap. Sementara di depannya terdapat sebuah jembatan yang terbuat dari dua batang bambu. Iwan menghentikan motornya, sementara Ida turun dan berusaha mencari jalan balik.
Di tengah-tengah itu, datang empat pemuda. Salah seorang dari mereka dengan pongah berkata; “Serahkan motor dan semua yang dibawa!”
Ida tak mampu berkata-kata, kecuali mencoba berlindung di balik tubuh kekasihnya.
“Tenang …,” kata Iwan berusaha menenangkan Ida.
Tak lama kemudian, setelah sejenak terediam sambil memejamkan matanya, Iwan pun berkata tak kalah keras; “Kalau berani ambil sendiri!”
Mengetahui sang calon korban berani menolak, maka tanpa banyak cakap, keempat pemuda itu langsung saja mengeroyok Iwan.
Beberapa kali Iwan berhasil menghindar, sehingga membuat keempat pemuda itu menjadi semakin marah. Salah satu di antaranya ada yang mencabut golok dan langsung mengayunkan ke arah kepala Iwan. Melihat kelebat golok, Iwan langsung saja menangkis dengan tangan kanannya.
Ajaib, tangan Iwan tak terluka sama sekali. Karena penasaran, maka golok pun ditebaskan berulangkali ke tubuh Iwan. Walau jaket dan bajunya sudah sobek di sana-sini, namun, tubuh Iwan tak mengeluarkan darah barang sedikit pun.
Alhasil, keempatnya balik ketakutan dan lari menyeberangi sungai kecil dan hilang di rerimbunan pepohonan dan gelapnya malam. Iwan menarik napas lega sambil mengucap; “Alhamdulillah ….”
Ida memandangi wajah Iwan dengan perasaan tak menentu. Setelah tenang, Iwan pun membalikkan motornya dan kembali mencari jalan. Beruntung, tak lama kemudian, Iwan dan Ida berhasil menemukan jalan raya dan tiba di tempat yang dituju.
Setelah mencatat jalur dan membuat peta serta meminta izin kepada tetua kampung, Iwan dan Ida pun kembali ke Jakarta.
***
Esoknya, di kampus, Ida menceritakan apa yang dialaminya. Semua saling tatap dan tak tahu harus berbuat apa kecuali memegang tangan Iwan dan memeriksanya. “Bener … lecet aja enggak”, kata Uli sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
Aji pun mencoba menelisik dengan lebih dalam sehingga Iwan pun menjawab; “Aku dapat amalan ini dari Abah, ketika SMA. Syaratnya, puasa seperti Ramadhan sebanyak dua puluh satu hari dimulai dari hari kelahiran. Setiap usai mendirikan salat fardu, baca sebanyak sebelas kali sambil tahan napas dengan menengadahkan kedua telapak tangan… Setelah itu, tiup kedua telapak tangan dan sapukan ke seluruh tubuh dimulai dari kepala sampai kaki.”
Bacaannya adalah Islam dan Sunda;
Ya Allah Ya Kodim,
Astaqfirlloh hal azim,
Allah huma solialasaidina Muhammad,
Laila haillallah Muhammaddarosulullah,
Allah hu haq,
Firakuk kudu teraq.
“Menurut Abah, kalau yakin, jangankan senjata tajam dan tumpul, peluru pun tak mampu menembus badan pengamalnya,” pungkas Iwan.
Martin, Udin, serta Dodo dan Uli yang sejak tadi memperhatikan, langsung saja berkata hampir bersamaan; “Makanya … jangan coba-coba sama orang Kulon.”
Iwan melihat ke arah mereka sambil mengepalkan tangan dan berjalan masuk ke kelas.