Sungai Bogowonto yang angker dan wingit, selain banyak menyimpan peradaban masa lalu di beberapa tepiannya juga dikenal sebagai sarang ular dan buaya ….
oleh: Joko Santoso
Neomisteri – Sebagai pemuda yang lahir dan dibesarkan di bilangan Purworejo, sudah barang tentu, Susilo yang akrab disapa dengan Ilo (35 tahun) menyimpan berbagai cerita yang menarik untuk disimak. Dari mulai cerita konyol sampai dengan cerita mistik yang membuat bulu roma siapa pun yang mendengarkannya pasti akan meremang.
Maklum, sebagaimana anak-anak muda seusianya, sejak duduk di bangku SLTP, Ilo memang tergolong lelaki yang gemar berolahraga khususnya bela diri Pencak Silat. Agaknya, dari situlah ia memiliki perbendaharaan cerita yang cukup karena acap mendengar pelbagai cerita seram yang pernah dialami oleh para senior atau gurunya.
Baca juga: Peranti Pelet: Mustika Klenting Mungil
Malam itu, ia bercerita tentang kehebatan seorang lelaki renta yang akrab disapa dengan Mbah Iro (68 tahun). Lelaki yang tidak dikaruniai keturunan dan tinggal tak jauh dari pinggiran Sungai Bogowonto hidup seorang diri sejak sang istri meninggal dunia lima tahun yang lalu. Boleh dikata, kesehariannya hanya dihabiskan untuk di menggarap ladang yang tak seberapa luas atau menangkap ikan di sungai — sisa waktunya, Mbah Iro lebih memilih berkegiatan di Musala. Ia menjadi imam pada waktu salat fardu atau mengajar mengaji anak-anak dan lepas Isya dengan dibantu Yudi dan Wowok ia mengajarkan silat pada mereka selepas mengaji.
Para tetua atau mereka yang lahir dan dibesarkan di desa itu mafhum, Mbah Iro dikenal sebagai pendekar tangguh dan memiliki banyak ajian, khususnya seputar kanuragan. Walau memiliki pelbagai kelebihan, namun, Mbah Iro tetap dikenal sebagai sosok yang ramah, murah senyum dan ringan tangan. Ia tak segan membantu siapa pun yang membutuhkannya ….
Kelebihan lain dari Mbah Iro adalah, ia juga sangat mahir menjala ikan di sungai yang tempatnya merupakan sarang ular dan buaya. Ya masyarakat sekitar sendiri tak pernah berani mendekati gosong di tepian Sungai Bogowonto itu. Mereka kadang mengingatkan bahkan mengusir dengan paksa orang dari luar desa yang ingin memancing di tempat itu.
“Dari pada bahaya, lebih baik usir!” Demikian pesan sesepuh desa pada warga jika melihat hal yang seperti itu.
Baca juga: Zikir Pelunas Utang
Berkebalikan dengan yang lain, setelah meminta izin pada tetua desa dan masyarakat Mbah Iro justru lebih memilih tempat itu untuk menjala ikan. Itupun hanya dilakukan sesekali, jika ia ingin makan ikan atau ada perhelatan di desanya — ia selalu mengirimkan ikan-ikan segar kepada warga yang sedang hajatan atau ada perayaan di desanya.
Itulah kelebihan dari Mbah Iro yang selalu berusaha untuk terlibat di dalam tiap kegiatan di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Ilo, setiap hendak menjala, Mbah Iro berdiri sesaat di tepian gosong sambil matanya menatap tajam ke arah air sungai. Kedua tangannya menengadah ke atas, sementara mulutnya berkomat-kamit membaca mantra penangkal ular dan buaya. Dan benar, sesaat kemudian, tampak air beriak … dan puluhan tubuh panjang bulat meliuk-liuk naik ke tepian dan masuk ke dalam gumuk-gumuk yang atasnya dipenuhi sampah atau dedaunan diikuti dengan lima bahkan kadang delapan ekor buaya. Buaya-buaya tersebut sengaja menepi untuk berjemur bahkan seolah menjaga Mbah Iro yang asyik melontarkan dan menarik jalanya.
Baca juga: Terungkap, Amalan Rahasia Pemilik Rumah yang Tetap Kokoh Diterjang Erupsi Semeru
Setelah dirasa cukup, Mbah Iro pun langsung naik ke darat. Ia sengaja hanya mengambil beberapa ekor, sisanya dibagikan kepada para tetangganya.
Hingga suatu malam, Ilo yang merupakan salah satu murid yang dianggap nakal tapi berani itu nekat bertanya pada Mbah Iro; “Mbah … kenapa ular dan buaya itu menyingkir?”
“Ada rapalannya”, jawab Mbah Iro datar, “puasanya tidak makan yang berjiwa selama tujuh belas hari tujuh belas malam, jadi hanya makan nasi putih dan minum air putih saja”, sambungnya.
“Tiap lepas salat fardu, mantra dibaca tujuh belas kali dengan tahan napas. Begitu usai, tiupkan napas ke kedua telapak tangan dan sapukan ke seluruh tubuh yang dimulai dari kepala. Selanjutnya, jika diperlukan, cukup baca tiga kali dengan tahan napas, lalu, tiupkan ke tempat di mana ular dan buaya bersarang”, imbuh Mbah Iro.
“Rapalnya bagaimana Mbah”, desak Ilo.
Mbah Iro pun merapalkan atau membaca mantranya;
Assalāmualaikum alā sayyidinā ḥiḍit alaihi salām,
Assalāmualaikum alā sayyidinā ali raḍiyallāhu anhumā
“Silakan amalkan, semoga bermanfaat. Tapi ngat, jangan takabur atau dibuat pertunjukan”, pesan Mbah Iro.
Demikian mantra penangkal ular dan buaya untuk sekadar menambah kekayaan khazanah budaya leluhur bangsa.