asd

Mbah Raden Antana Wijaya

Prasangka dan itikad baik ternyata tidak selamanya berbuah manis, buktinya, ke tujuh pendekar berhasil ditipu mentah-mentah oleh penjajah Belanda dan terkubur hidup-hidup di dalam lubang yang sebelumnya sudah disiapkan …
oleh: Merva Soemarno

Neomisteri – Tiap ada kesempatan, Heri selalu mengajak istrinya, Anissa dan Indah anaknya untuk berjalan-jalan sekadar melepas kejenuhan. Tak seperti biasanya, kali ini, entah kenapa Heri begitu ingin mengajak keluarga kecilnya menikmati keasrian dan keteduhan Situ Cikaret, Cibinong.

Baca: Kutukan Tumbal Proyek di Balik Keindahan Kastil Maruoka

Indah tampak begitu senang. Ia berlarian di tepian sambil melihat-lihat para pemancing yang dengan tekun dan sabar melihat sang pelampung yang ada jauh di depannya. Indah sontak berteriak manakala ada salah seorang pemancing berhasil menaikkan ikan yang memangsa umpannya itu.

“Ayah … Ibu … ikan, ikan”, teriaknya dengan riang sambil menunjuk ke arah pemancing yang sedang berusaha melepaskan ikan dari mata kailnya.

“Iya … ikannya gede”, jawabku, “Indah mau ikan?” Lanjutku.

“Mau … biar digoreng sama Ibu. Buat aku … buat aku … buat makan”, jawab Indah dengan manja.

Kami berdua hanya tersenyum melihat kelincahan Indah.

Tak terasa, rembang petang pun datang. Lampu-lampu penerangan pun hidup secara otomatis. Ketika aku menatap ke arah sebatang pohon trembesi yang banyak tumbuh di sana, hati langsung saja berdesir. Betapa tidak, di kejauhan tampak seorang lelaki berperawakan sedang dan berwajah teduh melemparkan senyum sambil mengangguk lemah.

Sejenak aku tertegun, sampai terdengar suara Anissa; “Pa … ayo balik. Anginnya kenceng, enggak baik buat Indah”.

“Oke deh”, jawabku sambil membuka kedua tangan. Indah yang sadar akan hal itu langsung saja menubruk dan langsung kudekap erat dan kami pun berjalan ke tempat parkir motor. Singkat kata, setelah membeli beberapa penganan dan sekadar lauk untuk makan malam, kami pun berjalan pulang.

Setelah membasuh tubuh dan berganti pakaian, kami pun makan bersama. Indah dan Anissa tampak begitu menikmati makan malamnya, sementara, anganku masih terbang kemana-mana sehubungan dengan penampakan tidak sewajarnya yang tadi terjadi di Situ Cikaret. Malamnya, tak ada kejadian yang berarti sama sekali, namun, aku berjanji dalam hati akan segera ke Situ Cikaret dalam waktu dekat untuk mengetahui siapa gerangan tokoh yang tadi menampakkan diri.

Baca: Menikah Dengan Putri Jin

Singkat kata, Kamis, lepas Maghrib aku sengaja pamit pada Anissa dan Indah mau ke rumah Mas Bowo untuk suatu keperluan. “Hati-hati di jalan dan jangan pulang malam-malam”, demikian kata Anissa sambil mencium tanganku. Aku mengangguk sambil membungkuk dan memeluk Indah dengan erat.

Aku pun langsung berangkat dengan satu tujuan, Situ Cikaret.

Setibanya di sana, aku pun mencari tempat yang tepat dan sepi. Agaknya, karena malam Jumat, tak banyak pengunjung yang datang. Hanya satu dua pemancing saja yang masih tampak dengan setia memegang jorannya.

Beruntung, aku mendapatkan tempat yang benar-benar tepat. Di bawah sebatang pohon yang ditumbuhi tanaman perdu tergolong lebat. Kunyalakan sebatang rokok yang sebelumnya telah kuolesi dengan minyak kesturi — setelah menghisapnya beberapa kali aroma harum pun mulai menguar — aku pun mulai menutup cipta, rasa dan karsa.

Entah berapa lama aku terdiam hingga sesaat kemudian terdengar suara berat; “Assalamualaikum …”.

Begitu kujawab, lelaki berwajah teduh itu mengaku bernama Mbah Raden Antana Wijaya. Ia dan beberapa sahabatnya adalah para pendekar yang tertipu oleh penjajah Belanda yang berniat membangun tanggul di daerah itu. Tapi apa daya, tanggul selalu jebol.

Tanggul akan dapat diwujudkan jika di pintu air diberikan tumbal beberapa kepala manusia linuwih. Belanda pun menyusun siasat dengan membuat lubang — sayembara pun digelar — mencari seorang pendekar tangguh dan tiga lelaki kebanyakan untuk mengambil pusaka yang ada di dalam lubang yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Tapi apa yang terjadi, alih-alih dapat pusaka, Ki Muridin, salah seorang penduduk yang terbilang pemberani langsung masuk ke dalam lubang. Bersamaan dengan itu, Belanda dan antek-anteknya langsung saja menguruk lubang tersebut. Ki Muridin pun mati akibat dari keluguannya. Kini, makam Ki Muridin terdapat tak jauh dari Situ Cikaret, tepatnya di Kampung Keramat.

Baca: Salah Satu Titik Angker di Sungai Ciliwung

Ternyata, tak hanya Ki Muridin, Mbah Kelong, Mbah Tolok, Mbah Raden Antana Wijaya, Ki Lipan, Ki Naun, dan Nyai Ratu pun mengalami nasib yang sama. Itikad baik mereka untuk mengambil pusaka dengan harapan tanggul dapat segera terwujud, ternyata, hanya tipuan belaka. Sayang, masyarakat tidak pernah menemukan jasad mereka.

Ketika kutanyakan kenapa bisa tertipu, dengan tegas Mbah raden menjawab; “Kita semua yang menghayati ilmu tua, dilarang berburuk sangka, berbohong atau mengamil yang bukan haknya. Itu sudah sumpah kita”.

“Itu sebabnya, kenapa, belum ada seorang pun yang bersedia untuk menerima silsilah Situ Cikaret karena sumpahnya yang berat dan sangat tidak lazim di zaman sekarang”, lanjut Mbah Raden.

“Aku sengaja mewujud agar silsilah Situ Cikaret tidak hilang dimakan zaman”, pungkasnya sambil membalikkan badan dan raib.

Baca: Kuntilanak di Studio Alam TVRI

Sesaat aku termangu. Sungguh luar biasa pengobanan para pendahulu yang berani mengorbankan jiwa dan raganya untuk keperluan banyak orang — suatu sikap terpuji yang kini mulai tergerus oleh lajunya zaman.

Dengan gontai, aku pun kembali menuju ke tempat parkir dan pulang ke rumah.

artikel terkait

Apa komentarmu?

Artikel Terbaru

ARTIKEL MENARIK LAINNYA

Ketika Syeikh Kholil Bangkalan Bikin Belanda Kebingungan

Belanda menangkap Syekh Kholil dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi ditangkapnya Syekh Kholil, malah membuat pihak Belanda pusing dan kewalahan. Karena terjadi hal-hal...

Penampakan di Bioskop

Pas sampe rumah, dia liat lagi foto tangga bioskop itu tadi. Setelah diliat-lihat kok ada yang aneh.   Neomisteri - Jadi ceritanya ini dari temen gw....

Artikel Terpopuler