Di tengah-tengah kesibukan memperhatikan upacara akad nikah yang sedang berlangsung dengan khidmat, mendadak, seorang lelaki tua yang serasa pernah dikenalnya mendekati dan berbisik; “Cepat pergi dari sini …”.
oleh: Harimurti
Neomisteri – Madiun, tepatnya lereng Gunung Wilis 1975, demikian Ate (35 tahun) menceritakan pengalaman menakutkan yang dialami Tini (35 tahun) sepupunya yang sejak tamat SMK lebih banyak tinggal di Madiun. Ia bekerja sebagai tenaga administrasi di salah satu material milik Pak Mahrus, adik dari Bude Atun, tetangganya di dusun. Ya … setahun setelah sang ayah berpulang, sang ibu pun menyusul — dan sejak itu, jadilah Tini anak yatim piatu.
Baca: Pengawal Gaib Leluhur
Menurut Ate, sepupunya mukim di dusun yang masih tergolong sepi bahkan penerangan pun masih menggunakan sentir (lampu pelita-Jw). Karena letak rumahnya di pinggiran hutan, maka, sejak kecil, Tini sudah demikian akrab dengan lingkungan sekitarnya. Termasuk meminta izin kalau lewat di dekat Pohon Gayam raksasa yang tumbuh di pinggir belik (mata air-Jw) yang tak pernah kering walau kemarau berkepanjangan.
“Mbah … aku numpang lewat, jangan ganggu ya”, demikian ucapnya dalam bahasa Jawa yang kental sambil membungkukkan badannya.
Alhasil, sementara beberapa tetangga pernah melihat perwujudan makhluk astral penunggu Pohon Gayam, Tini maupun ayah dan ibunya tak pernah merasakan suatu apapun jika berada di tempat itu.
Boleh dikata, tiap akhir bulan, Tini pasti kembali ke dusunnya untuk menziarahi makam kedua orang tuanya, setelah itu membersihkan rumah, pekarangan dan tak lupa membawa sekadar oleh-oleh untuk keluarga Bude Atun (kakak dari pemilik material tempatnya bekerja-red) yang oleh kebanyakan masyarakat di beberapa dusun di lereng Gunung Wilis dikenal sebagai perias pengantin yang mumpuni.
Baca: Disantet Mantan Pacar, Seorang Pria Gugat Dukun ke Pengadilan
“Riasan Bude Atun manglingi (membuat orang tidak mengenalinya-Jw)”, demikian ungkap orang-orang yang pernah menggunakan jasanya.
Mulanya, sebelum mendapatkan pekerjaan di Madiun, Tini memang acap membantu Bude Atun. Sehingga tak heran, jika ia kembali ke dusun kadang diminta untuk membantunya — beruntung, pemilik material tempatnya bekerja mafhum akan hal ini. Sehingga, tiap Sabtu, bahkan kadang Pak Mahrus harus mengingatkan Tini agar segera kembali ke dusun untuk membantu Bude Atun.
Seperti malam itu, mendadak pintu kamar tidurnya diketuk dari luar dan terdengar suara; “Tin … Tini, besok pagi kamu pulang ke dusun sebelah buat bantu Bude. Pesennya, peralatan lengkap sudah di rumah yang punya hajat”.
“Baik Pak … besok habis Subuh saya berangkat”, sahut Tini sambil membukakan pintu kamarnya.
Tampak Pak Mahrus tersenyum sambil mengangsurkan sebuah bungkusan kecil; “Titip buat Bude Atun ya. Dan besok biar diantar Warto ke terminal, di sana, kamu dijemput sama Lik Darjo”.
Tini menerimanya sambil mengangguk. Pak Mahrus mengingatkan Tini agar tetap menjaga kesehatan sehingga ia tetap bisa bekerja sekaligus membantu Bude Atun dengan baik. Tini pun mengangguk sambil tersenyum, ia terharu, karena Pak Mahrus dan Bude Atun serta keluarga besarnya begitu perhatian terhadap dirinya.
Singkat kata, setelah memperkenalkan diri, Tini langsung meminta Mbak Sri si calon pengantin wanita bersiap-siap, untuk dikerik bulu halus bagian pinggir dahi dilanjutkan dengan memakai busana pengantin — ia harus bersiap-siap menghadapi acara akad nikah yang bakal berlangsung sekitar pukul 18.15. Bukan suatu hal yang aneh bagi Tini, ia maklum, karena hampir semua masyarakat selalu mengikuti arahan dari orang dituakan; khususnya hari, tanggal, bulan bahkan waktu pelaksanaan. Maklum, menurut bisik-bisik yang ia dengar, Mbak Sri adalah cucu Mbah Iro, kepala dusun yang sangat berwibawa dan disegani.
Baca: Kerajaan Gaib Klampis Ireng
Setelah semuanya dirasa siap, maka, Tini pun menggandeng Mbak Sri untuk duduk di ruangan yang telah ditentukan menunggu kedatangan calon pengantin pria untuk akad nikah, dilanjutkan dengan bersanding di pelaminan untuk menerima ucapan selamat dari para undangan.
Mulanya, Tini menduga tak ada suara yang terdengar karena mereka segan atau bahkan takut dengan Mbak Sri, namun, hatinya mulai tercekat manakala beberapa tamu yang datang pun lebih banyak berdiam diri. Jika mereka berkata-kata, Tini hanya menangkap dengungan bak lebah yang sedang terbang di sekitar telinganya.
Pengantin pria yang ditunggu-tunggu datang dengan diiringi kerabat serta kenalannya. Di tengah-tengah itu, mata Tini pun nanar. Betapa tidak, tanpa tahu dari mana datangnya, ia merasakan ada seorang yang mendekati dan berbisik; “Cepat pergi dari sini”.
Tini sontak menoleh, ia melihat dengan jelas, sang kakek yang sudah meninggal sekitar 15 tahun lalu meletakkan jari telunjuk di tengah-tengah bibirnya. Bahkan matanya memberikan isyarat agar ia segera berdiri dan mengkutinya. Bagai kerbau dicucuk hidung, Tini berdiri dan mengikuti sang kakek dari arah belakang. Keanehan pun dirasakan Tini. Ia merasa tak ada seorang pun yang melarang atau menahan kepergiannya.
Dengan perasaan tidak menentu Tini berjalan mengikuti sang kakek. Ketika dirasa mulai jauh dari pusat keramaian, mendadak, ia mendengar suara gaduh yang memanggil-manggil namanya sesekali diselingi suara takbir. “Allahu Akbar …”
Dengan menguatkan tenaga, Tini terus melangkah hingga akhirnya ia terjatuh lemas, sementara, sang kakek hanya tersenyum lalu hilang bak disapu angin.
Baca: Nyaris Jadi Tumbal Pesugihan
Ketika sadar, ia hanya melihat Bude Atun menangis dan beberapa tetangga berusaha memeluknya dengan perasaan haru yang teramat sangat.
Bude Atun bercerita, ia tahu kepulangannya dari Pak Mahrus yang menanyakan apakah Tini sudah sampai atau belum. Semua panik, sebab, Bude Atun tidak merasa telepon. Akhirnya semua sepakat meminta tolong Mbah Badri, sesepuh yang memang menguasai berbagai hal gaib untuk mencari Tini.
Ternyata, Tini, menolong merias pengantin gaib penunggu Pohon Gayam raksasa yang tumbuh di hutan dekat rumahnya. Hal itu diakui, malamnya, ia bermimpi didatangi Mbak Sri yang memberikan sebentuk cincin emas dengan mata mirah, sebagai tanda terima kasih sambil berpesan; “Jangan dijual. Itu kenang-kenangan sebagai tanda rasa terima kasihku”.
Sampai sekarang, walau sudah menikah, Tini masih menyimpan cincin itu dengan rapi ….