Semua sudah mafhum bahwa Retno memang bukan orang sembarangan, walau acap berpenampilan seenaknya, namun, kharisma yang ada dari dalam dirinya terasa memancar begitu kuat ….
oleh: Ade Ayu
Neomisteri – Sekali ini, kami (Ade, Puspita, Mira dan Retno) berempat sepakat untuk mendaki Gunung Lawu lewat Candi Cetho, Karanganyar. Sengaja kami memilih trek pendakian terpanjang dari yang ada. Pasalnya, Pos 1, Bulak Peperangan; Pos 2, Gupak Menjangan; Pos 3, Pasar Dieng; Pos 4, Hargo Dalem; dan Pos 5, Hargo Dumilah menawarkan pemandangan yang demikian indah. Inilah sebabnya, kenapa kami berempat sepakat untuk mendaki lewat Candi Cetho, setelah sebelumnya singgah dan beritirahat di kediaman Retno, di daerah Purwosari, Solo.
Malamnya, mereka berbincang dengan hangat dengan Sinyo, demikian sapaan akrab adik bungsu Retno. Sinyo tergolong salah satu sosok yang begitu hafal dengan kondisi Gunung Lawu, gunung keramat yang banyak didaki oleh kalangan yang menggeluti budaya Jawa, khususnya spiritual.
Baca: Rep-repan Saat Nginep di Rumah Sakit
Ia menyarankan agar lebih hati-hati jika mendaki lewat Candi Cetho. Mengingat jalurnya panjang juga tegolong wingit (angker). Sebagai pendaki, sudah barang tentu mereka setuju. Apalagi mereka sangat hafal dengan tindak-tanduk Retno jika sedang mendaki. Ya … Retno selalu membawa tas khusus untuk memuat sampah yang mereka temui di sepanjang perjalanan.
Singkat kata, pada hari yang telah ditentukan, setelah lapor akan melalukan pendakian, dengan riang keempatnya mulai melakukan pendakian; route yang bakal mereka tempuh antara lain Bulak Peperangan, Gupak Menjangan, Pasar Dieng, Hargo Dalem, dan Puncak Gunung Lawu Hargo Dumilah.
Memasuki Pasar Dieng, udara yang semula cerah bersahabat mendadak berubah demikian cepat. Awan hitam bergayut pekat dan petir pun mulai berlompatan sambung menyambung diiringi dengan turunnya hujan dan angin yang demikian lebat. Sesaat keempatnya sempat panik. Dengan cepat mereka memakai jas hujan dan terus berjalan sambil berpegangan pada seutas tali yang memang sudah dipersiapkan. Tiupan angin yang begitu keras membuat mereka hanya dapat berkomunikasi lewat isyarat — namun, lamat-lamat, Ade, Puspita, Mira seolah mendengar Retno sedang menjawab atau berkata-kata dengan seseorang.
Baca: Pengalaman Seram Tinggal di Rumah Mertua
Ketiganya tidak menggubris, hanya saja, mereka heran dan bertanya-tanya dalam hati kenapa perjalanan kali ini menyerong ke kiri. Mereka sadar, walau tak berapa dalam, di sebelah kiri jalan yang mereka lalui adalah merupakan jurang yang tergolong terjal dan terkenal keangkerannya. Tapi apa daya, cuaca yang tidak bersahabat membuat ketiganya hanya bisa mengikuti langkah Retno yang berjalan di depan dengan penuh kehati-hatian.
Entah berapa lama mereka berjalan, yang pasti, kini, mereka berempat berkumpul di suatu ceruk bebatuan.
“Ufh … Alhamdulillah …, akhirnya kita dapat tempat berteduh. Ayo … kita bikin api biar hangat”, kata ketiganya hampir bersamaan. Tak lama kemudian, api pun menyala dan mereka berkumpul mengelilingi perapian sambil bercanda.
Baca: Hantu Noni Belanda
Setelah hujan mulai reda, setelah mematikan api, mereka berempat kembali melanjutkan perjalanan. Medan yang licin membuat mereka harus ekstra hati-hati dalam melangkah. Keanehan mulai dirasakan oleh Ade, Puspita, dan Mira. Betapa tidak, tiap salah satu dari ketiganya tergelincir akibat licinnya jalan, namun, mereka tak pernah sempat jatuh. Ya … seolah ada tangan tak terlihat yang menahan tubuh mereka. Akibatnya, tepat tengah malam mereka berempat baru sampai ke Puncak Gunung Lawu, Hargo Dumillah. Setelah saling sapa dengan pendaki yang sudah lebih dulu sampai, mereka beristirahat mengumpulkan kekuatan untuk turun nanti.
Di tengah-tengah rasa kantuk yang bergayut akibat kelelahan, antara sadar dan tidak … keanehan kembali terjadi. Ade, Puspita, Mira seolah melihat ada beberapa lelaki bertelanjang dada dengan mengenakan celana hitam komprang dan ikat pinggang kulit besar berdiri mengeliling mereka. Sementara, satu lelaki dengan pakaian yang sama dan berkumis lebat tampak duduk tak jauh dari Retno. Formasi mereka seolah tengah menjaga keselamatan kami.
Anehnya, keberadaan mereka seolah tak dirasakan oleh pendaki lain. Buktinya, mereka tetap tenang dan tenggelam dalam lamunan atau kesibukannya masing-masing ….
Paginya, setelah sarapan dan merapikan segala sesuatunya serta pamit dengan pendaki yang lain, mereka pun kembali turun lewat jalan yang sama. Ya …mereka sengaja naik dan turun lewat Candi Cetho. Tujuannya, selain menguji stamina, mereka juga ingin mencoba lintasan terpanjang dalam mendaki Gunung Lawu.
Baca: Melihat Penampakan Pocong di Pohon Nangka
Mereka beristirahat pada pintu masuk. Pada saat itulah, Puspita yang tergolong paling cerewet di antara mereka pun langsung saja bertanya; “Jujur, baru kali ini gue naek gunung serasa dikawal kayak anak raja”.
“Iya … gue juga ngerasain”, sahut Ade dan Mira sambil menatap Retno dengan pandangan penuh selidik.
Retno tak menjawab, hanya tersenyum. Dan perbincangan tentang mereka dikawal makhluk gaib itu terus saja bergulir sampai mereka sampai di rumah Retno. Sinyo yang kebetulan ada di depan langsung saja menyambut kedatangan meeka dengan hangat. Ketika ia mendengar apa yang sedang dibicarakan, dengan cepat ia menyahut; “Oh … yang itu. Jangan kaget atau takut, Mbak Retno itu kesayangan Eyang Kakung. Wlau hidup di zaman modern, tapi, beliau masih rajin berpuasa dan berkhalwat. Konon, karena kelebihannya itu, maka, beliau memiliki pengawal gaib yang selalu melindungi semua keturunannya dari pelbagai gangguan”.
Baca: Penjaga Parkir Basement Apartemen Diganggu Arwah Korban Bunuh Diri
“Nah salah satunya adalah apa yang dirasakan ketika Mbak semua terjebak hujan, tidak jatuh walau terpeleset karena jalan licin, dan dikawal dengan ketat ketika di Puncak Hargo Dumilah”, kata Sinyo panjang lebar.
“Kok tahu sih?” Tanya ketiganya bersamaan.
“Sebenarnya yang bisa komunikasi dengan para pengawal Eyang Kakung dia”, Kata Retno sambil menunjuk ke arah adiknya, “makanya, sebelum kita berangkat, ia terlebih dahulu berkomunikasi dengan para pengawal Eyang Kakung di kamarnya”, lanjutnya lagi.
“Oh … begitu”, gumam ketiganya.
“Ternyata, di zaman seperti ini masih ada orang yang menguasai ilmu-ilmu seperti itu”, kata Mira lirih, sambil matanya mengerling kagum ke arah Sinyo.