Di balik ketenangan situ atau danau yang dibuat pada rentang 1932-1933 untuk keperluan irigasi dan jebol di 27 Maret 2009, ternyata, masih tersimpan beribu misteri yang sampai sekarang belum terungkap ….
oleh: Opick Suaib
Neomisteri – Walau mengikuti PROKES, namun, pada hari libur bahkan dapat dikatakan hampir tiap hari, tepian Situ Gintung yang terletak di sebelah selatan Jakarta, selalu banyak didatangi orang untuk berolahraga atau memancing — sebagai penyaluran hobi atau pelepas kejenuhan akibat pandemi yang tak berkesudahan.
Hari itu, neomisteri juga melakukan jalan sehat untuk sekadar melemaskan otot sekaligus mencari sisi lain dari Situ Gintung yang begitu banyak menyimpan misteri. Ada yang menyatakan Situ Gintung merupakan salah satu kerajaan gaib, yang terjadi karena keusilan siluman ular lembu (walau bertubuh pendek, tetapi, mampu menelan seekor sapi jantan dewasa-red), namun, yang tak kalah menarik adalah; dahulu Situ Gintung merupakan salah satu markas perlawanan rakyat terhadap penjajah Belanda.
Baca: Penghuni Gaib Kontrakan Tua
Beruntung, kali ini, neomisteri bertemu dengan seorang lelaki muda (37 tahun) asli Betawi yang akrab disapa dengan sebutan Anan. Ia mengaku waktu kecil mendapatkan cerita dari ibunya (nyanyak-Btw). Setelah terdiam sejenak seolah mengumpulkan ingatan, Anan pun mulai bercerita; “Dulu, waktu masih kecil, Nyanyak juga dapet cerita dari Kumpi (buyut-Btw) kalo ke Gintung (sapaan akrab masyarakat-red) kudu ati-ati”.
“Dari mulanya emang banyak siluman ama silemannya di sono”, demikian lanjut Anan dengan dialek Betawi yang kental.
“Jadi jangan heran, kalo saben taun ada aja yang meninggal di Situ Gintung. Kalo menurut kata Nyanyak itu karena ulah siluman uler lembu”, imbuhnya.
“Siluman ular lembu?” Potong neomisteri.
Menurut tutur dan beberapa orang yang pernah melihatnya, siluman tersebut berbentuk ular dengan ukuran pendek, tetapi, mampu menelan seekor sapi jantan dewasa. Siluman tersebut mendiami Situ Gintung bersamaan tergenangnya lokasi tersebut dengan air.
Baca: Salah Satu Titik Angker di Sungai Ciliwung
Hatta, pada masa perlawanan rakyat yang berontak akibat penindasan para tuan tanah — dibantu centeng dan kompeni — Situ Gintung, dijadikan sebagai salah satu markas oleh para pemberontak di bawah asuhan arif dan tegas Kyai Caringin. Namun cerita dari mulut ke mulut, para pemberontak yang bermarkas di Situ Gintung tergolong yang paling ditakuti oleh para centeng dan pihak Kompeni Belanda.
Betapa tidak, semua yang bermarkas di Situ Gintung menguasai ilmu kanuragan yang luar biasa. Kenyataan tersebut merupakan hal yang wajar, maklum, mereka merupakan pasukan kecil Nyimas Melati yang mendapatkan julukan Sang Singa Betina dan merupakan salah satu putri dari Raden Mas Kabal, tokoh pejuang dari Tangerang yang selalu membuat repot para centeng dan Kompeni Belanda.
Bahkan, Kyai Caringin berhasil menaklukkan siluman ular lembu yang diperintah untuk menjaga dengan ketat pelbagai jenis senjata yang digunakan untuk melakukan perlawanan dengan Kompeni Belanda. Inilah salah satu kecerdikan Kyai Caringin yang menyimpan pelbagai jenis senjata di tempat-tempat tertentu sehingga jika terpaksa harus mundur atau menyerang tak perlu direpotkan dengan membawa senjata.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, Situ Gintung pun digenangi air.
Keangkerannya pun kian bertambah-tambah, kala itu, ada segundukan tanah menyerupai pulau kecil di tepiannya yang entah bagaimana ceritanya tiba-tiba terlepas dan seolah mengapung ke tengah. Penduduk sempat gempar. Menanggapi hal itu, Anan pun membenarkan; “Menurut Nyanyak, tanah itu merupakan gudang pusaka dari pasukan Kyai Caringin”.
Baca: Kuntilanak di Studio Alam TVRI
“Nyanyak juga crita, sekitar taon 60-an, tiap malem Jum’at banyak jagoan (baca: pendekar) yang latihan ato matengin ilmunya dengan jalan di atas aer,” imbuhnya, “sekalian nyari rejeki, siapa tau bisa dapet pecut ato cemetinya Kyai Caringin”, katanya melanjutkan.
“Bayangin, kata Nyanyak dari ceritanya Kumpi, begitu disebetin, langit langsung mendung geledek pada nyamber trus ujan gede dah. Nah pada waktu ntu, para jawara ngerangsek dan bunuh para centeng ato Kompeni Belanda. Makanya, ampe sekarang, ntu cemeti banyak yang ngincer”, paparnya panjang lebar.
“Moga ajah enggak ada yang bisa dapetin”, pungkas Anan.
“Kenapa?” Potong neomisteri.
“Biar jadi patok (baca: penguat) Situ Gintung. Katanya, ada satu yang kecabut, makanya setu langsung jebol”, katanya mengingatkan.
Neomisteri sepakat. Biarkanlah benda-benda tersebut damai berada di tempatnya, ketimbang hanya dijadikan koleksi atau bahkan dimaharkan.